REVITALISASI PERAN SEKOLAH DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN DAN PEMBIASAAN AKHLAK MULIA BAGI ANAK (Studi Kasus di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)
Mulyawan Safwandy Nugraha Dosen STAI Syamsul Ulum Gunungpuyuh Sukabumi mulyawan77@yahoo.co.id | Ai Rohayani MAN 1 Kota Sukabumi airohayani@yahoo.co.id |
Abstrak
Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan nilai tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan kurang memiliki mental kepribadian yang baik pula. Sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan bagi peserta didiknya.
Sejak tahun 2008, Bupati Sukabumi Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah. Ada 10 program pembiasaan akhlak mulia di sekolah dan madrasah. Pada tahun 2012, Pemerintah Kabupaten Sukabumi meresmikan program Diniyah Takmiliyah Alawiyah (DTA), yaitu program penambahan mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam menjadi 6 jam.
Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai
dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya hasil evaluasi pelaksanaan program-program tersebut akibat dari dukungan dari berbagai unsur, terutama dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara maksimal; (3) orang tua masih terlalu menyimpan beban besar kepada sekolah untuk mewujudkan anak yang cerdas dan soleh.
Kata-kata Kunci: peran sekolah, pembiasaan akhlak mulia, pendidikan agama
- Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah indikator yang menentukan keberhasilan suatu daerah untuk mencapai taraf yang maju dan dapat membentuk manusia beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Maju mundurnya sutu bangsa, negara dan masyarakatnya tergantung kepada pendidikan itu sendiri. Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari Sekolah dan Madrasah.
Pendidikan di sekolah dan madrasah diduga masih menitikberatkan pada kecerdasan kognitif saja. Hal ini dapat dilihat dari sekolah-sekolah yang memiliki siswa dengan lulusan nilai tinggi namun justru tidak memiliki prilaku cerdas dan sikap yang baik. Ditambah dengan kurang memiliki mental kepribadian yang baik pula.
Sekolah diyakini memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk kehidupan politik dan kultural. Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan bagi peserta didiknya. Melalui sekolah, Masyarakat masih menyimpan harapan bahwa di sekolah, akhlak mulia akan terjaga. Walaupun saat ini perilaku menyimpang justru terjadi di sekolah. Menurut Hadi Supeno (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI 2007-2010) bahwa berdasarkan data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41% di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41% lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7%, terkait tindak perdagangan anak, 3% kasus pembunuhan, 7% tindak penganiayaan, sisanya tidak diketahui.
Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.
Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3% dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18%. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 %, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.
Uraian tersebut menunjukan bahwa sekolah bukanlah tempat yang aman bagi anak. Hal ini menimbulkan masalah tentang bagaimana sekolah dapat mengantisipasi hal tersebut. Perlu upaya merevitalisasi sekolah dalam memainkan perannya. Termasuk perlunya pemerintah daerah turun tangan dengan melahirkan regulasi yang menjaga sekolah agar tujuan mewujudkan siswa yang berpendidikan dan berakhlak mulia.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan sebagainya). Pengertian melalui bahasa lainnya revitalisasi bisa berarti proses, cara, dan atau perbuatan untuk menghidupkan atau menggiatkan kembali berbagai program kegiatan apapun. Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembiasaan Akhlak Mulia di lembaga pendidikan telah berhasil menanamkan akhlak mulia di kalangan siswa di lembaga pendidikan.
Peraturan Bupati Sukabumi ini menarik untuk diteliti karena Pemerintah Daerah berupaya untk merevitalisasi pendidikan di sekolah dengan membiasakan hal-hal yang dianggap kecil dan biasanya luput dari perhatian pengelola pendidikan itu sendiri. Adapun isi dari dari peraturan itu adalah membiasakan siswa di sekolah untuk:
- Berbakti pada orang tua dan guru
- Berbusana muslim
- Memelihara adab belajar sesuai dengan tuntunan agama islam, yaitu: a. Membaca salam ketika masuk kelas; b. Berdo`a diawal dan diakhir pelajaran; c. Musofahah (bersalaman) kepada guru
- Membaca dan menghapal alqur`an; a. Membaca Al-qur`an sebelum memulai pelajaran pertama secara berkesinambungan; b. Membaca Al- qur`an dan hadits sesuai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-KD) pada setiap mata pelajaran; Menghapal Al-quran sekurang kurangnya juz ‘Amma, juz pertama dan juz kedua bagi SMP/MTs. Juz ‘Amma, juz pertama dan kedua bagi SMA/SMK/dan MA
- Memelihara kebersihan diri dan lingkungan dengan melaksanakan kegiatan operasi bersih, baik dibimbingoleh guru maupun sendiri- sendiri
- Mendirikan sholat fardu dan sunat: a. Mendirikan sholat dhuha pada waktu kegiatan istirahat pertama; b. Mendirikan sholat dzuhur dan ashar berjamaah yang diteruskan dengan berdzikir bersama yang disesuaikan dengan pelaksanaa pembelajaran; c. Qiamul lail sekurang kurangnya dilaksanakan sekali dalam sebulan sesuai kondisi.
- Melaksanakan ta`lim dan ceramah keagamaan diantaranya melibatkan unsur KAUA, MUI dan kyai atau ulama setempat minimal satukali dalam sebulan.
- Terbiasa melaksanakan infaq sejak dini baik yang insidentilmauoun rutin melalui unit pengumpul zakat (UPZ) disetiap satuan pendidikan
- Melaksanakan shaum wajib dan saum sunat
- “cinta tanah air” dengan melaksanakan kegiatan kegiatan untuk mewujudkan kecintaan terhadap tanah air di antaranya melalui kegiatan PRAMUKA IQOMAH dan kegiatan ekstra kurikuler dan budaya Islam lainya.
Penelitian ini ingin mengelaborasi khusus tentang tentang revitalisasi sekolah dengan penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
- Kajian Teoretis
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 Bab 1 Pasal 1. Selanjutnya, di pasal 3, Undang-undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Secara yuridis undang-undang tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan harus menjadikan peserta didiknya memiliki akhlak yang mulia, artinya praktik pendidikan tidak semata berorientasi pada aspek kognitif, melainkan secara terpadu menyangkut aspek afektif dan psikomotor.
Dengan demikian, budi pekerti luhur atau akhlak karimah merupakan sasaran yang akan dibangun bangsa Indonesia sebagai landasan ideal dan operasional bagi dunia pendidikan kita. Tujuan pendidikan di atas secara makro berlaku pada semua institusi formal maupun nonformal, dan tujuan tersebut berlaku pada semua aktivitas pendidikan di negeri ini, dan dituntut untuk mengimplementasikan rumusan tujuan di atas secara operasional pada masing-masing unit lembaga pendidikan.
Dalam konteks kedaerahan, bahwa sejalan dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan lahirnya PP No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, menjadikan daerah dapat lebih inovatif dalam melaksanakan pendidikan keagaaman dalam rangka mewujudkan masyarakat yang memiliki kecerdasan kognitif, afektif dan psikomotorik dengan landasan iman dan takwa serta akhlak mulia atau berbudi luhur.
Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya: Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; dan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 jo UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pasal-pasal dari Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tersebut berbunyi:
Pasal 8 menyebutkan:
- Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
- Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Prinsip pendidikan keagamaan merujuk pada pasal 8, dan program pendidikan keagamaan merujuk pada pasal 9. Berdasarkan pasal 8 di atas dapat dipahami, bahwa ada dua prinsip pendidikan keagamaan, yaitu prinsip preparation (mempersiapkan) dan prinsip formulation (pembentukan). Prinsip pertama menghendaki bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama; dan prinsip kedua menghendaki bahwa tujuan pendidikan keagamaan adalah untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Adapun program pendidikan keagamaan, sesuai dengan pasal 9 di atas, adalah bahwa pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mengkonsentrasikan pada pembelajaran bidang-bidang keagamaan Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pendidikan ini diselenggarakan melalui tiga jalur penyelenggaraan, yaitu jalur formal, nonformal dan informal. Pendidikan keagamaan jalur formal dilaksanakan dalam suasana pembelajaran keagamaan yang berlangsung secara formal/resmi dengan regulasi langsung dari pemerintah, dan biasanya komunitas belajar berada di dalam sebuah kelas yang secara sengaja didesain untuk kepentingan pembelajaran. Pendidikan keagamaan jalur non-formal diselenggarakan dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga di luar pemerintah, dan secara khusus tidak berada di bawah regulasi langsung pemerintah. Lembaga-lembaga itu secara otonom menentukan dan membuat kebijakannya sendiri-sendiri tanpa bergantung pada kebijakan pemerintah. Jalur ini biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan non-formal.
Oleh karena itu arah kebijakan pembangunan di bidang pendidikan keagamaan adalah terutama diarahkan untuk membina dan meningkatkan akhlak, keimanan, ketakwaan umat beragama sehingga lahir masyarakat dengan perilaku yang baik dengan dilandasi akhlak mulia di tengah kompleksitas perubahan sosial budaya. Di samping itu juga untuk membina dan meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama, sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dengan meningkatkan kualitas pemahaman dan pelaksanaan ibadah menurut syariat agamanya masing-masing, serta mempermudah umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.
Selain kebijakan nasional dengan keluarnya Peraturan Pemerintah seperti dikemukakan di atas, upaya melahirkan masyarakat yang berakhlak mulia melalui pendidikan keagamaan pun dilakukan oleh pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia. Seperti: Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 06 tahun 2006 tentang Program wajib belajar pendidikan keagaaman sebagai bagian dari program wajib belajar pendidikan dasar, Pesisir Selatan Sumatra Barat Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 8/2004 tentang Pandai Baca Tulis Al-Qur’an, Bengkulu Instruksi Walikota Bengkulu Nomor 3/2004 tentang Program Kegiatan Peningkatan Keimanan, Padang Panjang Peraturan Daerah Padang Panjang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Pemberantasan dan Penindakan Penyakit Masyarakat, Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 77/2004 tentang Pendidikan Madrasah Diniyah Awaliyah, Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 4/2004 tentang Khatam Al-Qur’an bagi Peserta Didik pada Pendidikan Dasar dan Menengah, Padang Instruksi walikota Padang Nomor 451.422/Binsos-III/2005 tentang pelaksanaan Wirid Remaja didikan subuh dan Anti Togel / Narkoba serta Berpakaian Muslim / Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/SMA di Kota Padang, Peraturan Daerah Kabupaten Maros Sulawesi Selatan Nomor 15/2005 tentang Gerakan Buta Aksara dan pandai Baca Al-Qur’an dalam Wilayah Kabupaten Maros, Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 1/2006 tentang Madrasah diniyah Awwaliyah, dan lain sebagainya.
Ada hal yang cukup menarik, bahwa peraturan perundang-undangan di daerah yang dikutip di atas, lahir sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan. Asumsinya, yang menjadi dasar dasar lahirnya peraturan di daerah tersebut karena lebih cenderung pada upaya pemerintah daerah untuk membina masyarakat agar berakhlak mulia melalui jalur pendidikan sesuai dengan visi, misi, strategi dan program tiap-tiap kepala daerah. Konsekuensi logis dari pemahaman terhadap hal-hal tersebut di atas, adalah urgensi manajemen kebijakan publik bidang pendidikan keagamaan dalam lingkup nasional maupun lokal. Hal ini dilakukan dalam upaya menanggulangi persoalan kompleksitas perubahan sosial-budaya yang terjadi.
Sejak 1990-an, sejumlah sarjana dan analis kebijakan mulai menekankan fungsi moral pedagogi global. Misalnya, Jacques Delors (1996: 13) dalam laporannya kepada UNESCO Komisi Internasional tentang Pendidikan untuk Abad Kedua Puluh Satu, Belajar: Harta Dalam, percaya bahwa pendidikan memiliki peran penting untuk dimainkan dalam mempromosikan toleransi dan perdamaian secara global: ‘ Dalam menghadapi banyak tantangan yang akan terjadi di masa depan, manusia memandang dalam pendidikan sebagai aset yang tak tergantikan dalam upayanya untuk mencapai cita-cita perdamaian, kebebasan, dan keadilan sosial. ‘
Kepedulian yang sama dengan dimensi moral dalam pendidikan hadir di Bindé (2002: 391) dalam ‘Apa Pendidikan untuk Abad Kedua Puluh Satu? di mana disarankan bahwa perubahan paradigma baru dalam pendidikan harus bertujuan untuk ‘memanusiakan globalisasi’ (lihat juga Bindé, 2000).
Pada saat yang sama, ia mengingatkan kita bahwa salah satu tantangan utama masa depan pendidikan adalah ‘menggunakan teknologi komunikasi dan informasi baru untuk menyebarluaskan pengetahuan dan keterampilan’ (Bindé 2002: 393; lihat juga Zajda 2009).
- Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan berusaha mendapatkan hasil yang menyeluruh melalui pengamatan yang mendalam. Data, baik emik atau etik, diperoleh dari Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan mengambil ide tentang pembiasaan akhlak mulia bagi siswa dengan mengoptimalkan fungsi sekolah melalui penerapan kebijakan publik tentang Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah dan Peraturan tentang Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)
Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Dalam penelitian ini langkah-langkahnya secara bertahap, yaitu: 1) mengklasifikasikan gejala secara rinci; 2) memeriksa media yang tepat untuk pengamatan; 3) mengkategorikan fungsi gejala; 4) pembuatan perencanaan sampling untuk memiliki tepat target; 5) menentukan kode menjadi diterapkan secara konsisten; dan 6) membuat analisis data. Prosedur pengumpulan data yang observasi, wawancara, coding, penamaan, manajemen data dan interpretasi.
- Temuan dan Pembahasan
- Temuan
Di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat, program pendidikan budaya dan karakter bangsa lebih disederhanakan dengan kata peningkatan “akhlak mulia”. Berdasarkan capaian pembangunan yang telah diraih pada periode sebelumnya dan tantangan pembangunan yang masih dihadapi, maka dalam kurun waktu periode 2010 – 2015 mendatang VISI Pembangunan Kabupaten Sukabumi adalah: “Mewujudkan Masyarakat Kabupaten Sukabumi yang Berakhlaq Mulia, Maju, dan Sejahtera”. Akhlaq Mulia merupakan kualitas sumber daya manusia dengan perilaku tertinggi dan terhormat, yang merujuk pada suri tauladan Nabi Muhammad SAW yang memiliki 4 (empat) sifat utama yaitu:
- Shiddiq yang berarti Jujur. Setiap keputusan dipertimbangkan dengan pemikiran yang benar dan jernih (kognitif, afektif, dan spiritual /komunikasi ketuhanan).
- Amanah yang berarti Terpercaya/Jujur/Aspiratif. Mampu memahami segala situasi, berkomunikasi dengan tepat sehingga semua pihak menerimanya.
- Fathonah yang berarti Cerdas/inovatif. Mampu memecahkan segala persoalan probadi, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara bahkan di dunia dalam semua aspek kehidupan.
- Tabligh yang berarti membina/komunikatif/motivator/menyampaikan /mentransformasikan. Terus melakukan pembinaan dengan program yang jelas, organisasi yang mapan, kerja keras yang terarah dengan kontrol yang baik.
Dengan pencapaian kualitas perilaku tertinggi dan terhormat tersebut, diharapkan masyarakat dan stakeholders di Kabupaten Sukabumi dapat mewujudkan kesatuan gerak langkah sehingga terwujud masyarakat yang berakhlak mulia, yaitu masyarakat yang berperilaku lurus dan jujur, saling percaya, cerdas, dan saling mengingatkan untuk berlomba dalam kebaikan dan kemajuan.
- Pembiasan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah
Berdasarkan kajian terhadap Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 tahun 2008 tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Bidang Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah, diketahui bahwa ada 10 aspek yang menjadi titik tekan perilaku dan akhlak mulia yang ingin dibiasakan di sekolah dan madrasah.
Kepala Sekolah/Madrasah, Dewan Guru, Komite, Orang Tua Siswa dan seluruh siswa segera merespon peraturan tersebut dengan langkah-langkah sebagai berikut :
- Melaksanakan Rapat Koordinasi untuk mempelajari dan memahami peraturan tersebut.
- Mensosialisasikan kepada Siswa dan Orang tua / Wali siswa tentang peraturan tersebut.
- Menyusun Program kegiatan pembiasaan Akhlak siswa di sekolah dan lingkungan keluarga.
- Melaksanakan Program Pembiasaan 10 akhlak mulia secara berkesinambungan.
- Melaksanakan monitoring kegiatan secara berkala dan routine
- Menerima tim penilai pembiasaan 10 akhlak mulia
- Melaporkan hasil program pembiasaan 10 Akhlak mulia.
- Tindak lanjut penguatan program.
10 pembiasaan yang dilaksanakan di sekolah dan madrasah tersebut tergambar secara jelas dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1
Uraian 10 Pembiasaan Akhlak Mulia di Sekolah dan Madrasah
KOMPETENSI PEMBIASAAN AKHLAK MULIA |
INDIKATOR |
DESKRIPSI |
KEGIATAN / TEMPAT |
PENILAIAN |
1. Berbakti kepada orangtua |
– menemukan pengertian adab kepada orangtua – menunjukan cara berterimakasih kepada orangtua – membiasakan berprilaku hormat kepada orangtua |
Guru bercerita tentang pengertian orangtua
Guru memberi contoh perbuatan baik terhadap orangtua |
Membuat jadwal kegiatan sehari-hari dirumah
|
Portofolio Daftar kegiatan |
2. Berbusana muslim pada setiap aktivitas pembelajaran, masuk kelas diawali dengan salam, berdo’a diawal dan diakhir pelajaran |
– mampu berbusana muslim pada setiap aktivitas pembelajaran – mampu mengucapkan salam bila masuk kelas – mampu membaca do’a diawal pelajaran – mampu menunjukan mushofahah kepada guru
|
– Guru memberi contoh cara berbusana muslim yang baik dan bebnar menurut syariat ajaran agama islam. – Guru memotivasi untuk percaya diri dalam berbusana muslim – Guru membimbing dalam membaca do’a – Guru memberi contoh cara mushofahah yang benar |
Berdo’a sebelum dan sesudah melakukan kegiatan pembelajaran
|
Pengamatan Performance |
3. Memelihara kebersihan diri dan lingkungan |
– menjelaskan ciri-ciri sikap dan prilaku hidup bersih – memberikan contoh prilaku orang yang hidup bersih – menyadari pentingnya lingkungan yang bersih – kemampuan hidup bersih |
– Guru menanamkan pembiasaan untuk bersuci dulu sebelum berangkat sekolah – Guru mengatur keindahan/ kenyamanan kelas/taman kelas – Guru menjadi model dalam aktivitasnya sehari-hari |
Rutin tiap pagi sebelum berangkat sekolah berwudlu dulu Rutin memelihara tanaman bunga di taman kelas Senam kesegaran Jasmani Kegiatan terprogram melalui daftar piket kelas |
Performance Pengamatan Penugasan |
4. Setiap mata pelajaran diawali dengan membaca ayat/hadist terkait |
– melafalkan ayat-ayat al-Qur’an secara tartil – menjelaskan kandungan surat yang dimaksud – mengamalkan isi kandungan pokok surat |
Guru kelas bisa kerjasama dengan guru agama Islam untuk minta petunjuk tentang keterkaitan mata pelajaran umum dengan al-Qur’an/Hadist |
Rutin Terprogram
|
Penugasan Pengamatan |
5. Disetiap jam istirahat diisi dengan shalat Dhuha |
– mampu melaksanakan Shalat Dhuha – membiasakan Shalat Dhuha – memahami pentingnya Shalat Dhuha |
– Guru memberi contoh cara-cara Shalat dan mampu melaksanakan Shalat Dhuha – Guru membimbing dalam pelaksanaan Shalat Dhuha – Guru memotivasi dalam pelaksanaan Shalat Dhuha |
Rutin dilaksanakan Terprogram Dikelompokan
Tempat Mushola Sekolah Ruangan kelas Lapangan sekolah
|
Performance Penugasan Kinerja ……………
|
6. Melaksanakan Shalat Dzuhur berjamaah |
– mampu melaksanakan Shalat berjamaah – menjelaskan pentingnya Shalat berjamaah – membiasakan Shalat berjamaah |
– Guru memotivasi pentingnya Shalat berjamaah – Guru membimbing Shalat berjamaah – Guru memberikan keteladanan dalam pelaksanaan Shalat berjamaah |
Rutin Terprogram Dipimpin oleh Guru Agama Islam atau oleh guru yang beragama Islam Tempat Mushola Sekolah Masjid lingkungan sekolah Ruangan kelas |
Pengamatan Penugasan Daftar cek
|
7. Melaksanakan ta’lim sekolah oleh unsur KUA dan kyai ulama setempat minimal 1 kali dalam sebulan |
– mampu menerima informasi pendidikan agama Islam dari unsur Depag/MUI – memahami pentingnya Da’wah Islamiyah |
Guru kerja sama dengan KUA dan MUI melaksanakan kegiatan ceramah keagamaan tiap 1 bulan satu kali |
Terprogram
Tempat Mushola Sekolah Ruangan kelas Halaman sekolah Masjid jami yang dekat sekolah |
Performance Laporan |
8. Membentuk unit pengumpulan Zakat/ UPZ di setiap satuan pendidikan dan melakukan pendidikan infaq sejak dini |
– memahami aturan zakat – mampu membuat unit pengumpul zakat (UPZ) – memahami benda-benda yang wajib dizakati – memahami ayat-ayat alQuran yang ada relevansi dengan zakat – membiasakan mengeluarkan infaq minimal 1 minggu 1 kali |
– Guru kelas V dan VI berkolaborasi dengan guru pendidikan agama Islam untuk membuat UPZ – Guru melatih siswa cara-cara mengeluarkan zakat – Guru melatih siswa untuk memberikan zakat – Guru membiasakan siswa untuk membawa uang untuk diinfaqkan tiap 1 minggu 1 kali |
Terprogram Tiap bulan Ramadhan membentuk UPZ, tiap hari jumat harus mengeluarkan infaq
Tempat Mushola Sekolah Ruangan kelas Masjid
|
Kinerja Laporan Pengawasan
|
9. Qiyamul Lail sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan sesuai kondisi |
– mampu melaksanakan Qiyamul lail berdasarkan dorongan hati nurani sendiri – membiasakan Shalat Qiyamul lail minimal satu minggu 1 kali – menjelaskan pentingnya Shalat Qiyamul lail |
– Guru yang beragama Islam guru PAI menceritakan keutamaan Qiyamul lail – Guru PAI mendemontrasikan cara pelaksanaan Qiyamul lail
|
Terprogram Dilaksanakan sebulan sekali tiap kamis malam Kepala sekolah dan dewan guru yang beragama Islam ikut melaksanakan Tempat Mushola Sekolah kl ada Masjid dekat sekolah kl ada Ruangan kelas Halaman Sekolah |
Pengamatan Penugasan Laporan
|
10. Pembiasaan Shaum Sunat, hafalan al-quran dan rutinitas Islam lainnya |
– memahami pengertian shaum sunat – mampu melaksanakan shaum sunat – membiasakan shaum sunat hari senin dan kamis – membiasakan menghafal alQuran di waktu istirahat – membiasakan berwudhu sebelum melaksanakan aktivitas |
– Guru PAI menjelaskan pengertian shaum sunat – Guru memberikan pemahaman manfaat shaum sunat – Guru memberi contoh melaksanakan shaum senin dan kamis – Guru melakukan tes hafalan qur’an
|
Terprogram Mendengarkan cerita, Tanya jawab dan Diskusi
Tempat Di Ruang Kelas Di tempat lain yang menyenangkan ditentukan oleh murid dan guru
|
Pengamatan Laporan |
- Peresmian Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW)
Diniyah Takmiliyah Wustho atau disingkat DTW merupakan inisiatif Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk mengantisipasi jam pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah formal yang masih dianggap kurang. Dalam seminggu, rata-rata sekolah hanya memberikan alokasi dua jam saka. Hal ini pemerintah menganggap sebagai persoalan yang serius untuk dipecahkan. Dengan program DTW ini, sekolah formal tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan menerima jatah enam jam untuk PAI, di antaranya Alquran, Hadits, Aqidah Akhlak, Bahasa Arab, Tarikh, serta Fiqih. Program ini dikenalkan untuk pertama kalinya pada tahun pelajaran 2012/2013.
Dalam penjelasannya, Sukmawijaya selaku Bupati Sukabumi periode 2010-2015, menjelaskan bahwa:
Kebijakan penerapan DTW ditetapkan Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 451/Kep.690-BK/2012 tertanggal 8 November 2012 lalu. Program DTW ini merupakan program tambahan mata pelajaran untuk memperkuat aqidah siswa. Peruntukannya saat ini sebatas SMP. Program ini merupakan gagasan dari inisiatif di mana saat ini jam pelajaran di sekolah masih dianggap rendah untuk sekolah formal, yang hanya diberikan dua jam saja seminggu. Padahal jika dilihat dari sisi kebutuhan, ilmu agama itu untuk bekal aqidah yang fungsinya sebanagai penyeimbang ilmu dunia.
Ada dua kriteria DTW. Pertama, DTW murni, dan kedua DTW terintegritas. DTW murni ialah sekolah yang sudah menerapkan kurikulum keagamaan secara terpisah antara pelajaran formal dengan keagamaanya. Sekolah dengan criteria ini ada 20 yayasan. Kendala yang muncul dari DTW murni ini adalah bahwa yayasan tersebut harus memberikan waktu khusus yaitu biasanya usai jam sekolah formal berakhir. Ruangan yang ada dilanjutkan dengan pelajar agama (Madrasah Dinyah) yang setiap hari berjalan.
Kriteria kedua, DTW terintegritas, yang dilaunching pada tanggal 14 Juli 2012 di SMPN 3 Cibadak Kabupaten Sukabumi. DTW jenis ini sistem pendidikannya menyelipkan pelajaran agama untuk sekolah formal dengan jatah satu jam pelajaran yang diselang seling dengan mata pelajaran utama. Untuk tahun 2012/2013 jumlah sekolah yang sudah mengikuti DTW terintegritas ini antara lain 20 SMP Negeri dan 28 SMP PGRI dari jumlah total 272 SMP Negeri dan swasta di Kabupaten Sukabumi.
Dalam wawancaranya, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sukabumi Zaenal Mutaqin (Periode 2011-2013), menjelaskan bahwa untuk tahap awal baru sebanyak 48 SMP yang menerapkan DTW, yang lain akan menyusul pada 2013. Dengan adanya penambahan setiap minggunya jam PAI menjadi enam jam. Dengan dilaksanakannya DTW, setiap sekolah harus mempunyai berbagai persiapan, di antaranya ketersediaan tenaga pengajar agama Islam, pembiayaan operasional, sarana dan prasarana penunjang lainnya. Dalam penerapan DTW ini memang masih ada sejumlah sekolah yang masih kekurangan jumlah guru Pendidikan Agama Islam. Namun, ada juga sekolah yang ternyata memiliki guru agama yang melebihi jumlah kebutuhan.
Penyelenggaraan DTW mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Terlebih penyelenggaraan DTW melibatkan berbagai pihak antara lain Bagian Keagamaan Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Disdik Kabupaten Sukabumi, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Kementerian Agama (Kemenag). Pada 2013 seluruh SMP dapat menerapkan pendidikan DTW. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi jumlah SMP seluruhnya sekitar 272 sekolah.
Dalam evaluasi program DTW, penambahan jam untuk mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) belum seluruhnya dilaksanakan. Dari jumlah 260 sekolah tingkat SMP, sebanyak 114 sekolah yang sudah melaksanakan penambahan jam mata pelajaran PAI yang awalnya hanya tiga jam menjadi lima jam. Belum meratanya pelaksanaan program ini sebab tergantung dari anggaran.
Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi (2011-2015), Adjo Sarjono, menjelaskan bahwa dari 260 sekolah tingkat SMP di Kabupaten Sukabumi baru 114 sekolah yang sudah melaksanakan. Sekolah lain pun akan menyusul dan menyesuaikan sesuai dengan alokasi anggaran dan kebutuhan lainnya.
Dijelaskan Adjo, bahwa penambahan jam belajar PAI tersebut atas izin dan diakui oleh Kementerian Agama. Untuk pelaksanaanya membutuhkan tenaga pengajar atau guru yang memang khusus mengajar PAI, karena bertambah maka bagi para guru mendapat tambahan tunjangan. Dengan bertambahnya jam belajar itu, lanjut Adjo, harus dibarengi dengan kebutuhan pengajar dan teknis pembelajaran yang efektif.
Untuk itu diadakan bimbingan teknis supaya guru tak bingung dalam mengajar, nantinya para guru pun terkonsep dan terarah. Pemateri dalam bimtek ini pun dari beberapa pengajar yang profesional yang akan mengisi selama dua hari. Mereka yang mengikuti bimbingan teknis akan mendapatkan sertifikasi dari Kemenag Kabupaten Sukabumi.
Secara terpisah, Kepala Bagian Keagamaan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, Ali Iskandar, menjelaskan:
“Penambahan jam PAI ini bertujuan untuk membimbing siswa dalam mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia. Menurutnya, PAI ini menjadi modal dasar pembangunan Kabupaten Sukabumi yang lebih maju, baik dan sesuai konsep visi misi Sukabumi. Untuk mewujudkan masyarakat Sukabumi yang berakhlakul karimah, ini jelas perlu dipersiapkan dari mulai generasi muda terutama pelajar. Sehingga mereka mampu dan memiliki bekal dasar-dasar nilai agama yang kokoh. Program ini sejatinya sudah dilaksanakan di tingkat SD, yaitu dengan adanya dukungan dengan sekolah Diniyah Takmiliyah. Sehingga hal serupa ingin dilaksanakan di tingkat SMP.”
Sementara itu, Kepala Kementerian Agama Kantor Kabupaten Sukabumi, Hilmy Rifai menambahkan, bahwa :
“Pihaknya sangat merespon dan siap mendukung dalam mewujudkan program tersebut. Termasuk bimtek terhadap guru juga jelas merupakan modal yang paling mendasar. Pengembangan PAI di SMP mewujudkan kualitas dan kapasitas pembelajaran pendidikan agama Islam di Kabupaten Sukabumi menuju pribadi siswa yang berakhlak mulia.”
- Pembahasan
Bentuk-bentuk akhlak mulia, sesuai dengan Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 33 Tahun 2008 Standar Isi Program Pengembangan Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan Madrasah tentang tercermin dalam indikator-indikator perilaku (dikategorisasi berdasarkan dimensi ibadah ritual dan sosial), sebagai berikut:
Dimesi Ibadah Sosial |
Dimensi Ibadah Ritual |
a. Berbakti kepada orangtua dan guru. b. Berbusana muslim pada setiap aktivitas pembelajaran, masuk kelas diawali dengan salam, berdo’a diawal dan diakhir pelajaran serta mushpahah kepada guru sebelum keluar dari kelas. c. Memelihara kebersihan dari dan lingkungan.
|
a. Sebelum memulai pelajaran pertama diawali dengan membaca Al-Quran bersama sekurang-kurangnya 15 menit dan setiap mata pelajaran diawali dengan membaca ayat/hadits yang terkait. b. Di setiap jam istirahat diawali dengan shalat dhuha bersama. c. melaksanakan sholat Dzuhur bersama dan dzikir, bagi sekolah yang belajarnya siang atau sore maka berjamaahnya shalat ashar, magrib dan isya. d. Melaksanakan Ta’lim dan ceramah keagamaan e. Membentuk Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) dan melaksanakannya f. Qiyamul lail sekurang-kurangnya seminggu sekali secara bergilir sesuai kondisi dan membentuk Pramuka Iqomah (Ikatan Penggerak Qoryah Mubarokah). g. Pembiasaan shaum-shaum sunnat dan rutinitas budaya Islami lainnya. |
Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, mengambil sikap dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa, yaitu memainkan fungsi sekolah untuk menanamkan dan membiasakan akhlak mulia. Hal ini sesuai dengan pendapat Wuradji (1988: 31-42) yang menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. Sejalan dengan hal itu, Ballantine (1983:5-7) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial.
Apa yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi sesuai dengan Spencer, et.al (1982:8-9) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Lebih jelas, Cummings (2008:4-5) menyatakan:
Schools may reproduce, even reinforce, the inequalities of the larger society, or they may challenge them, or work to overcome the marginalization of excluded, vulnerable, and “invisible” children so that all have access to education. The word “marginalized” is used preferentially to emphasize the stance adopted here that schools play a more or less active role in determining the marginal or mainstream status of children. At a minimum, we would argue, schools have a responsibility to respond to the marginalization of children under their care.
Dalam hal ini, di Kabupaten Sukabumi, sekolah diharapkan mampu mensosialisasikan, mendidik dan melakukan perubahan sosial yang secara terencana dilakukan dengan dukungan kebijakan publik. Selama berjalannya regulasi tersebut (sejak 2008 sampai dengan sekarang tahun 2015), proses implementasi di lapangan menemui beberapa kendala dan tantangan. Tantangan ini bersifat internal dan eksternal. Penyediaan tenaga pengajar agama Islam, pembiayaan operasional, sarana dan prasarana menjadi faktor-faktor tersebut.
Peran sekolah sangatlah besar dan menjadi tumpuan bagi orang tua dalam mendidik anak. Sekolah telah menjadi lembaga pendidikan sebagai media berbenah diri dan membentuk nalar berfikir yang kuat. Di sekolah, anak belajar menata dan membentuk karakter. Sekolah merupakan wahana yang mencerdaskan dan memberikan perubahan kehidupan anak-anak didik. Dengan kata lain, sekolah mampu memberikan warna baru bagi kehidupan anak ke depannya, sebab di sekolah mereka ditempa untuk belajar berbicara, berpikir, dan bertindak. Yang jelas, sekolah mendidik anak untuk menjadi dirinya sendiri. Sekolah bertanggung jawab menanamkan pengetahuan-pengetahuan baru yang reformatif dan transformatif dalam membangun bangsa yang maju dan berkualitas. Dengan demikian, peran sekolah sangat besar dalam menentukan arah dan orientasi bangsa ke depan.
Lebih jauh lagi peran sekolah menjadi sangat signifikan bagi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Dengan sekolah, pemerintah mendidik bangsanya untuk menjadi seorang ahli yang sesuai dengan bidang dan bakatnya si anak didik, yang berguna bagi dirinya, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Dengan sekolah pula, umat manusia yang berperadaban dan beragama mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang tinggi sebagai bekal untuk melanjutkan dan memperjuangkan agamanya.
Tak pelak lagi di era globalisasi sekarang ini, orang tua yang memiliki keterbatasan dalam mendidik anak-anaknya telah menyerahkan anak-anaknya kepada sekolah dengan maksud utama agar di sekolah itu anak-anak mereka menerima ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dapat dipergunakan sebagai bekal hidupnya kelak di kehidupan dunianya dan kehidupan akhiratnya.
Dengan kebijakan penambahan jam pelajaran Pendidikan Agama Islam sebanyak 6 jam, memberikan warna tersendiri terhadap pola pendidikan agama di sekolah. Hal ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Namun jika ditinjau lebih mendalam, kepedulian Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi terhadap penguatan Pendidikan melalui pendidikan agama islam disebabkan keyakinan bahwa dengan hanya dengan pendidikan agama yang komprehensif, anak dapat diselamatkan dari perilaku dan moral yang menyimpang. Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Cummings, ketika melihat perubahan yang terjadi di masyarakat harus direspon dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan dan sekolah itu sendiri.
Berikut pendapat Cummings, (2008: ix-x), tentang proses perubahan, sebagai berikut:
- Improving quality requires a different approach to the management of education systems and to the change process than does improving access alone.
- The dichotomization of change strategies as either top-down or bottom-up is not the most useful way to think about reform.
- A measure of the effectiveness of a country’s efforts to educate all is the extent to which that system reaches and educates children on the margin.
- Policies and strategies effective for reaching children and youth at the margin are likely to differ from those appropriate for reaching children in the center.
- Children and youth at the margin are likely to require a substantially greater range of “supports” than are children in the center.
Dengan cara ini, kami terus mempertahankan, pendekatan dan strategi yang digunakan untuk mempromosikan reformasi sama pentingnya dengan isi reformasi. Pendekatan terpusat, perintah-dan-kontrol untuk perencanaan dan manajemen yang telah diwariskan banyak sistem dan yang dapat bekerja dengan baik untuk sistem kecil dengan populasi siswa yang relatif homogen dan didukung dengan baik tidak mungkin berfungsi dengan baik dalam mendorong perbaikan berkelanjutan dalam kualitas dalam konteks bekerja dalam rangka pendidikan untuk semua (education for all).
Sejumlah perspektif yang berhubungan dengan perubahan sosial dan teknologi di masa depan dikembangkan oleh Alvin Toffler (1970, 1980). Dia adalah salah satu futuris paling produktif, dan dikenal luas karena karyanya membahas transformasi sosial, ekonomi, organisasi dan teknologi yang mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia. Namun, salah satu pelopor sekolah untuk besok adalah Ivan Illich (1981) dan dalam bukunya Deschooling Society, ia menganjurkan sejumlah proposal kebijakan radikal untuk mengubah sekolah dan pedagogi. Illich berpendapat bahwa sekolah harus diubah, dan khususnya, ia adalah seorang visioner dalam meramalkan penggunaan sekolah terdesentralisasi dan penggunaan teknologi informasi dalam pengaturan pendidikan di masa depan. Dia menjadi percaya bahwa teknologi informasi berpotensi menciptakan desentralisasi ‘web pembelajaran’, yang akan menghasilkan pembelajaran yang berkualitas untuk semua. Sistem pendidikan yang baik harus memiliki tiga tujuan: ia harus menyediakan semua yang ingin belajar dengan akses ke sumber daya yang tersedia kapan saja dalam kehidupan mereka; memberdayakan semua orang yang ingin berbagi apa yang mereka ketahui untuk menemukan mereka yang ingin mempelajarinya dari mereka; dan, akhirnya, lengkapi semua yang ingin menyajikan masalah kepada publik dengan kesempatan untuk membuat tantangan mereka diketahui (Illich 1981).
Demikian pula, Postman dan Weingartner (1969) sama-sama kritis terhadap sekolah tradisional dan mengusulkan model baru dalam pedagogi berdasarkan pembelajaran inkuiri, salah satu pilar sekolah untuk besok, di mana konsep-konsep seperti keaksaraan kritis dan refleksi akan menjadi alat pembelajaran yang penting. Karya John Holt (1964, 1967, 1972, dan 1976) menawarkan pendekatan baru untuk pembelajaran dan pengajaran di kelas, berdasarkan pedagogi humanistik dan berpusat pada anak.
Sejak tahun 1980-an, banyak buku telah diterbitkan, berurusan dengan berbagai visi sekolah untuk besok (lihat Faure 1972; Beare and Slaughter 1993; Power 1995; Delors 1996). Sebagian besar tampaknya mengatasi ekonomi dan teknologi didorong, serta didorong oleh standar, reformasi pendidikan, sebagai hasil dari berbagai transformasi sosial dan budaya, yang dibawa oleh kekuatan globalisasi (Zajda, 2009). Colin Power (1995) mengamati bahwa dunia sedang mengalami ‘revolusi ilmiah dan teknologi’ yang mendalam dan pendidikan harus memainkan peran kunci dalam mempersiapkan orang dewasa muda untuk hidup dan bekerja di abad ke dua puluh satu: Pendidikan harus mempersiapkan warga hari ini untuk hidup dan bekerja di dunia masa depan, sebuah dunia di mana satu-satunya konstanta akan berubah. Namun, jika revolusi teknologi adalah tanda yang paling terlihat dari waktu, perubahan politik, sosial dan ekonomi juga memberlakukan tantangan dan tanggung jawab baru pada sistem pendidikan. Tentu saja, yang paling mendesak dari ini adalah membangun budaya damai dan toleransi di mana perbedaan dan keragaman dipandang sebagai sumber kekayaan dan bukan sebagai ancaman terhadap nilai dan keberadaan seseorang. Kelangsungan hidup kita pada akhirnya bergantung pada kesuksesan kita dalam menghadapi tantangan ini. (http://www.unesco.org/education/educprog/brochure/003.html)
Beberapa masalah kebijakan dan pedagogi dalam pendidikan untuk besok mencakup ‘bentuk-bentuk pemerintahan baru dan pembuatan kebijakan’ untuk mempersiapkan sekolah-sekolah kita untuk abad ke-21 (Johansson 2003: 148). Suatu pendekatan inovatif untuk pemerintahan dan kebijakan pendidikan didasarkan pada pemikiran jangka panjang, di mana para pembuat kebijakan terlibat dalam proses proaktif pembelajaran konstan. Pembuatan kebijakan, tidak hanya siswa, guru dan sekolah, harus dalam proses pembelajaran yang konstan. Untuk ini, metode dan strategi untuk berpikir jangka panjang diperlukan. Terlepas dari kenyataan bahwa pendidikan memiliki keunggulan dalam hal investasi dan perubahan jangka panjang, metodologi berpikiran maju sangat kurang dikembangkan di bidang kami.
Johansson (2003: 151) juga berpendapat bahwa sekolah memainkan peran penting dalam transformasi budaya. Singkatnya, sekolah sangat penting dan, dalam banyak hal, lembaga yang sukses. Mereka merupakan bagian integral dari transformasi dari masyarakat agraris ke industri. Mereka mewakili investasi yang sangat penting bagi negara-negara kita dalam membuat transformasi lebih lanjut dari industri ke masyarakat berbasis pengetahuan hari ini dan besok, tetapi untuk ini mereka harus direvitalisasi dan dinamis.
Pada sesi ke-57 pada bulan Desember 2002, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan tahun-tahun dari tahun 2005 hingga 2014 pada Dekade Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kebutuhan untuk bertindak, dengan mengacu pada pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (EfS), adalah hasil dari keprihatinan internasional yang semakin berkembang tentang tantangan sosial, ekonomi dan lingkungan yang dihadapi dunia dan kebutuhan akan ‘peningkatan kualitas hidup, perlindungan ekologi, keadilan sosial dan keadilan ekonomi (http:// www.environment.gov.au/education/publications/caring.html).
Dampak dari Peraturan Daerah berorientasi Pembiasaan Akhlak Mulia.
Bupati Sukabumi Sukmawijaya, akhirnya meraih penghargaan dari Kementerian Agama RI. Bersama 10 kepala daerah lain. Sukmawijaya dianugerahi sebagai kepala daerah yang dinilai berprestasi dalam memberikan kontribusi dan perhatian besar terhadap pendidikan agama dan keagamaan. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali pada acara tasyakuran Hari Amal Bhakti Kementerian Agama ke-64 di Jakarta, Senin (4/1/2011) kemarin.
“Bagi saya sendiri, penghargaan ini merupakan tantangan terutama dalam upaya mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, maju menuju Kabupaten Sukabumi sejahtera,” kata Sukmawijaya.
Menurutnya, membentuk akhlak mulia bangsa bukanlah langkah mudah. Banyak tantangan yang dihadapi. Bergesernya nilai-nilai agama, karena derasnya perkembangan teknologi informasi yang membawa nilai-nilai baru globalisme merupakan tantangan yang harus dijawab. “Setiap jenjang waktu, masalah pembangunan akhlak memiliki dimensinya sendiri-sendiri, sehingga diperlukan kreativitas dinamis peran kita sesuai perkembangan yang ada,” terangnya.
Sukmawijaya mengatakan, penghargaan yang diberikan kementerian agama bukan semata-mata sebagai penghargaan, tetapi lebih dari itu berfungsi sebagai pemberi motivasi dan strategi untuk terus meningkatkan peran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan pendidikan agama di daerah. “Penghargaan ini sebagai motivasi dan sekaligus strategi untuk terus meningkatkan peran Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam rangka pelaksanaan pendidikan keagamaan,” imbuhnya.
Kepala Tata Usaha (TU) Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sukabumi, Hasen Chandra menjelaskan bahwa Penghargaan diberikan berdasarkan program dan kebijakan pemerintah daerah (pemda) yang mendukung pengembangan madrasah. Salah satunya program pemda yang memiliki keberpihakan dengan menganggarkan untuk pengembangan madrasah-madrasah dan pemberian intensif bagi guru-guru madrasah honorer. Regulasi-regulasi yang pro-pada pendidikan Islam dan penanaman akhlak mulia, di antaranya:
- Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2006 mengenai Program Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan.
- Instruksi Bupati Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan.
- Peraturan Bupati Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Kurikulum Madrasah Diniyyah Awaliyyah.
- Instruksi Bupati Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Monitoring, Evaluasi dan Fasilitas pelaksanaan program wajib belajar pendidikan keagamaan.
- Peraturan Bupati Nomor 7 Tahun 2007 tentang Akreditasi Madrasah Diniyyah (MD).
- Peraturan Bupati Nomor 33 Tahun 2008 Tentang Standar Isi Program Pengembangan Diri Pembiasaan Ahlak Mulia di Sekolah dan Madrasah.
- Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan Islam.
- Simpulan
Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kebijakan bidang pendidikan keagamaan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia di atas sesuai dengan kultur dan kondisi sosial masyarakat Kabupaten Sukabumi yang agamis. Pembiasaan (habituation) merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sikap atau perilaku yang menjadi kebiasaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Perilaku tersebut relatif menetap; b) Pembiasaan umumnya tidak memerlukan fungsi berpikir yang cukup tinggi, misalnya untuk dapat mengucapkan salam cukup fungsi berpikir berupa mengingat atau meniru saja; c) Kebiasaan bukan sebagai hasil dari proses kematangan, tetapi sebagai akibat atau hasil pengalaman atau belajar; d) Perilaku tersebut tampil secara berulang-ulang sebagai respons terhadap stimulus yang sama.
Revitalisasi peran sekolah dalam penguatan pendidikan dan pembiasaan akhlak mulia bagi anak di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat merupakan suatu inovasi dan mendesak untuk dilakukan dalam mengantisipasi perubahan sosial dan teknologi serta dampak negatif dari Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak. Pembiasaan 10 akhlak mulia di sekolah dan madrasah, ditambah dengan program Diniyah Takmiliyah Wusto (DTW) merupakan sebagian inovasi yang berupaya agar anak lebih fokus di sekolah agar menjadi siswa yang cerdas dan berkahlak mulia.
Temuan menunjukkan bahwa: (1) ada fasilitas yang belum memadai
dan sumber daya yang didedikasikan untuk mendukung program pembiasaan 10 Akhlak Mulia dan Program Diniyah Takmiliyah Wustho (DTW) ; (2) masih rendahnya dukungan dari berbagai unsur, terutama dari pihak sekolah sendiri untuk mengimplementasikan dua program ini secara maksimal; (3) orang tua masih terlalu menyimpan beban besar kepada sekolah untuk mewujudkan anak yang cerdas dan soleh.
- Rekomendasi
Memfungsikan sekolah sebagai tempat yang penting bagi pengembangan diri, mental, sikap dan kepribadian siswa harus didukung oleh peraturan pemerintah yang mendukung. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dalam pandangan penulis, memberikan dampak yang luas dan menyebar ke segala aspek. Hal ini penting untuk dievaluasi dan dibenahi agar faktor yang menghambat program ini bisa dikurangi.
Keseriusan seluruh pihak untuk mengimplementasikan program 10 pembiasaan akhlak mulia dan program program Diniyah Takmiliyah Wusto (DTW) menjadi faktor yang menentukan keberhasilannya. Kita semua mendambakan, anak-anak Indonesia menjadi anak yang cerdas dan berakhlak mulia sesuai dengan tujuan yang dicapai dalam sistem pendidikan nasional melalui peran sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Ballantine, Jeane H. (1983).The Sociology Of Education : A Systematic Analysis. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.
Bindé, Jérôme. (2000). Toward an ethics of the future. Public Culture, 12(1), 51–72.
Bindé, Jérôme. (2002). What education for the twenty-first century? Prospects, 32(4), 391–403.
Cummings, William K. and James H. Williams (Eds.). (2008). Policy-Making for Education Reform in Developing Countries Policy Options and Strategies. Rowman & Littlefield Education: New York.
Delors, J. (1996). Learning: The treasure within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-First Century. Paris: UNESCO.
Holt, J. (1964). How children fail. New York: Pitman.
Holt, J. (1967). How children learn. New York: Pitman.
Holt, J. (1972). Freedom and beyond. New York: Elsevier North-Holland.
Holt, J. (1976). Instead of education. New York: Delacorte.
http://beta.radarsukabumi.com/?p=126
http://jejaknews.blogspot.co.id/2011/01/bupati-sukabumi-terima-penghargaan.html
http://www.unesco.org/education/educprog/brochure/003.html
http://www.environment.gov.au/education/publications/caring.html
Illich, I. (1981). Shadow work. Boston, MA: Marion Boyars.
Johansson, Y. (2003). Schooling for tomorrow – principles and directions for policy. In networks of innovation: Towards new models for managing schools and systems. Paris: OECD.
MacGilchrist, B., Mortimore, P., Savage, J. and Beresford, C. (1995) Planning Matters:
The Impact of Development Planning in Primary Schools, London: Paul Chapman
Publishing.
Power, C. (1995). Education and the future. www.unesco.org/education/educprog/brochure/004.html.
Spencer, Metta and Alex Inkeles.(1982). Foundations of Modern Sociology. Canada: Prentice-Hall.
Toffler, A. (1970). Future shock. New York: Bantam Books.
Toffler, A. (1980). The third wave. New York: Bantam Books.
Weingartner, C. (1969). Teaching as a subversive activity. New York: Dell.
Wuradji. (1988) Sosiologi Pendidikan. Jakarta : P2LPTK.
Zajda, J. (2009). Global pedagogies for democracy, tolerance and peace. In Daun, H., Iram, Y. and Zajda, J. (Eds.), Global values education: Teaching democracy and peace. Dordrecht, The Netherlands: Springer.
Zajda, Joseph (Eds). (2010). Global Pedagogies: Schooling for the Future. New York: Springer Science+Business Media B.V.