Kusoy Anwarudin
ABSTRAK
Ajaran Islam sangat universal, bukan hanya mengajarkan hal yang transendental saja (Hablum mina-Allah) tetapi ajaran Islam sangat konsen sekali mengajarkan antroposentris atau hubungan dengan sesama manusia (Hablum Mina-an-Naas), yakni masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kemasyarakatan dan kepemimpinan (Fiqih Muamalah). Pada pertengahan abad 19, para ulama lebih mengutamakan penanaman dan pembinaan aqidah dan ibadah mahdhoh, kemudian harus terlibat dalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan hingga menghadapi tantangan komunisme yang sangat berbahaya. Pada awal abad ke-20 pada dunia pendidikan pesantren mulai melalukan pembaharuan, sebagain pesantren telah bergeser menjadi modern dalam sistem pendidikannya, namun faktanya tetap terjadi keterlambatan dalam menerapkan pendidikan yang berhubungan dengan sosial ekonomi khususnya dalam bidang “kewirausahaan.’’ KH Solahudin Sanusi; (1982;17). Berkenaan dengan permasalahan tersebut, mengkaji penerapan kewirausahaan di pesantren sangat menarik untuk dibahas, dengan merumuskan permasalahan: Bagaimana Strategi Penerapan Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren?
Makalah ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yang substansial : 1) Apa pengertian kewirausahaan? 2) Apa landasan teoritis pendidikan kewirausahaan? 3) Apa masalah dan hambatan utama penerapan kewirausahaan di pesantren? 4) Bagaimana strategi pendidikan kewirausahaan di pesantren? 5) Bagaimana implementasi pendidikan kewirausahaan di pesantren? 6) Bagaimana manfaat pendidikan kewirausahaan di Pesantren?
Hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu dan memberikan sumbangsih pemikiran agar penerapan pendidikan kewirausahaan di pesantren dapat terarah dengan komitmen dan strategi dari segenap pimpinan pondok pesantren untuk membangun model penerapan kewirausahaan di pesantren melalui tahapan Perencanaan yaitu merubah pola pikir dan melakukan pemberdayaan santri dengan memberikan internalisasi ajaran Islam secara terintegrasi dengan nilai kewirausahaan. Pada tahap Pelaksanaan kegiatan wirausaha santri yang telah dibekali pembinaan harus terlibat secara aktif, melakukan proses managerial usaha secara profesional. Kemudian tahapan Evaluasi dilakukan secara berkala dan melalui forum khusus yang berhubungan dengan perkembangan sekaligus untuk memecahkan berbagai permasalahan pada penerapan wirausaha. Hal ini akan membawa dampak positif baik kepada internal lembaga pesantren sehingga dapat mengembangkan lembaganya secara lebih terarah, maju dan kredibel, dan juga para santri memiliki pengetahuan, pengalaman dan menerima manfaat untuk masa depan yang mandiri dan produktif. Pada setiap pesantren telah terbuka peluang sangat besar untuk menerapkan kewirausahaannya, termasuk dalam perundang-undangan dan pendampingan dari berbagai stakeholders.
Kata Kunci : Pendidikan, Kewirausahaan, Pesantren.
ENTREPRENEURSHIP EDUCATION APPLICATION IN PESANTREN
Kusoy Anwarudin
ABSTRACT
Islamic teachings are very universal, not only teach the transcendental (Hablum mina-Allah) but also very concentrated once taught antroposentris or relationships with fellow human beings (Hablum Mina-an-Naas), related to social, economic, society and leadership (Fiqh Muamalah). In the mid-19th century, scholars preferred the planting and fostering of aqidah and mahdhoh worship, and then had to engage in a physical revolution to defend freedom and face the very dangerous challenge of communism. At the beginning of the 20th century, pesantren education has shifted to modernization in its educational system, but the fact remains that there is a delay in applying education related to socio-economic, especially “entrepreneurship.” KH Solahudin Sanusi; (1982; 17). The application of How the Strategy of Entrepreneurship Education Application in Pesantren become very interesting to discuss, by formulating the problem about: 1) entrepreneurial understanding 2) the theoretical foundation for entrepreneurship education 3) the main problems and obstacles of pesantren entrepreneurship application 4) the strategy of pesantren entrepreneurship application 5) the implementation of pesantren entrepreneurship application 6) the benefit of pesantren entrepreneurship application? The results of this paper is expected to help and contribute ideas for the implementation of pesantren entrepreneurship application can be directed with the commitment and strategy of all leaders of boarding schools to build models of pesantren entrepreneurship application, through the stages of planning to change the mindset and empowering students by providing Islam internalization integrated with the value of entrepreneurship. The implementation of entrepreneurship activities, students who have been provided coaching must be actively involved, professional managerial business processes. Then the Evaluation stage is done periodically and through special forums related to the development as well as to solve various problems on the application of entrepreneurship. This will have a positive impact on the internal boarding institutions so that they can develop their institutions more directed, advanced and credible, as well as the santri have knowledge, experience and receive benefits for an independent and productive future. In every pesantren there has been a huge opportunity to apply its entrepreneurship, including in legislation and assistance from various stakeholders.
Keywords: Education, Entrepreneurship, Pesantren.
- PENDAHULUAN.
Latar Belakang.
Dalam litelatur fiqih klasik terdapat ruang yang cukup besar untuk mempelajari, memperdalam fiqih Sosial (Fiqih Muamalah) yang dapat di implementasikan dalam wilayah ibadah ghair mahdhoh (Hablum mina-Naas). Fakta dan perkembangan di Indonesia, sejak awal abad ke-19 para ulama sebagai figur kepemimpinan pesantren lebih banyak memperhatikan dan mengajarkan fiqih ibadah (Ibadah Mahdhoh), karena memang kebutuhannya saat itu dianggap sangat penting dan serius dengan tujuan untuk membentengi idiologi dan ajaran imprialisme, para ulama turut terlibat langsung dalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan, demikian juga saat menghadapi ajaran komunisme para ulama merasa bertanggungjawab untuk memaksimalkan pembelajaran fiqih Ibadah Mahdhoh secara ketat dan berkelanjutan, pada sisi lain keterlibatan ulama terhadap masalah “khilafiyah” cukup menyita waktu. Oleh sebab itu perhatian terhadap Fiqih Muamalah ( fiqih sosia), terutama yang berkenaan dengan sistem perekonomian sangat tertinggal bahkan terabaikan. Jelasnya, secara umum dan dominan dibahas, dipelajari dikalangan umat Islam berorientasi kepada urusan dan implementasi fiqih Ibadah dalam kehidupan sehari-hari sedangkan dalam urusan fiqih mualamal kurang mendapat perhatian secara serius.Buya Hamka; (1978; 160)
Menurut KH Solahudin Sanusi; (1982;17): Bahwa ajaran Islam sangat universal, bukan hanya mengajarkan hal yang transendental saja (Hablum mina-Allah) tetapi ajaran Islam sangat konsen sekali mengajarkan antroposentris atau hubungan dengan sesama manusia (Hablum Mina-Naas), yakni masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kemasyarakatan dan kepemimpinan. Namun pada awal abad ke-20 fakta pada dunia pendidikan pesantren mulai merasakan keterlambatan dalam memerankan penanaman pendidikan yang berhubungan dengan sosial ekonomi khususnya tentang “kewirausahaan” yang justru akan memberi manfaat dan jalan keluar dalam mewujudkan santri yang memiliki jiwa usaha (Enteupreneurshif), mandiri dan proruktif dimasa mendatang,
Menurut Ramayulis : Pada pertengahan abad ke-20 mulai menggeliat dan berkembang pemikiran-pemikiran baru yang melahirkan konsep perubahan yang dikenal dengan “pembaharuan”, terjemahan dari modernisation, menurut Harun Naution, dalam masyarakat barat modernisation mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha- usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan tekhnologi (modern).
Gerakan pembaharuan di Indoneia dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharuan dari Timur Tengah, khususnya Jamaludin al-Afgani, muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Quthb, melalui jalur publikasi dan jalur pendidikan pembaharuan telah membangkitkan semangat generasi muda indonesia untuk belajar di beberapa pusat pendidikan, antara lain Kairo Mesir, Madinah dan Mekah sehingga mereka mengalami langsung terjadinya pembaharuan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh tersebut (Ramayulis, 201).
Secara umum sejak tahun 1910 M s.d 1930 M, proses pembaharuan tersebut terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan di berbagai kawasan di Nusantara, hal ini terbukti lahirnya organisasi-organisasi kemasyarakatan antara lain; Syarikat Islam, Jami’atul Khaoir, PERTI, Al-Irsyad Al-Islamiyah, Muhammadiyah, Persis, PUII, POI, NU, dan Matlaul Anwar. Melaui semangat pimpinan organisasi- organisasi ini pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan Islam bernuansa baru dan modern, yaitu dengan pola dan pendekatan “Management yang sistemik” yang terpadu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi meski masih sederhana (Buya Hamka,1976).
Menurut Fauzan,1987;18, ada beberapa tokoh ulama yang tidak menerima pembaharuan, mereka tetap bertahan pada pengelolaan pendidikan pesantren secara “Tradisional” melanjutkan misi dan orientasinya khidmat kepada guru-guru mereka, hingga sekarang tetap bertahan, yakni dengan sebutan “Pesantren Salafi”. Kemudian pada perkembangannya sistem pengelolaan pendidikan pesantren di Indonesia secara umum meliputi 3 (tiga) karakteristik; Yaitu Lemabaga Pendidikan Pesanten “Salafi”, kedua, Lembaga pendidikan pesantren “Kholafi” (terpadu), bahkan saat ini telah bermunculan pula pola pendidikan Pesantren “Modern”.
Penulis mengamati, bahwa terjadinya perubahan dalam sistem pendidikan pesantren kearah modern tidak sekaligus menunjukan adanya berubahan pandangan yang konstruktif dan prospektif secara sosial- ekonomi, sehingga keberadaan sebagian besar pondok pesantren salafi dan kholafi tetap dipandang memiliki keterlambatan, bahkan realif tertinggal dalam menerapkan pendidikan keirausahaannya secara konsepsional.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian dalam makalah ini..
Rumusan Masalah.
Dari latar belakang tersebut diatas, penulis dapat menarik kesimpulan pada rumusan masalah: Bagaimana Strategi Penerapan Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren?
Pertanyaan Masalah
- Apa pengertian kewirausahaan?
- Apa landasan teoritis pendidikan kewirausahaan?
- Apa masalah dan hambatan utama penerapan kewirausahaan di pesantren?
- Bagaimana strategi pendidikan kewirausahaan di pesantren?
- Bagaimana implementasi pendidikan kewirausahaan di pesantren?
- Bagaimana manfaat pendidikan kewirausahaan di Pesantren?
Tujuan Penulisan Makalah.
Secara garis besar bahwa tujuan penulisan Makalah ini, sebagai berikut :
- Praktis kepada penulis : Telah memberikan manfaat yang sangat besar, karena penulis memiliki motivasi dan pengalaman berharga berkesempatan untuk menelaah berbagai literatur yang berhubungan dengan topik makalah ini meski tetap memiliki kekurangan dan keterbatasan penulis.
- Akademik : Untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah Sistem Informasi Manajemen Mutu Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal, sebagai salahsatu syarat kelulusan Ujian Akhir Semester (UAS) pada semester satu Pragram Strata 3 Ilmu Pendidikan UNINUS Bandung.
Pengertian Kewirauasahaan.
Kata “Wirausaha” berasal dari kata “Wira” yang berarti mulia, luhur,unggul, gagah berani, utama, teladan, dan pemuka, dan “Usaha” yang berarti kegiatan dengan mengerahkan segenap tenaga dan pikiran, pekerjaan, daya upaya, ikhtiyar, dan kerajinan bekerja.
Richard Cantillon, adalah orang pertama yang menggunakan istilah “entrepreneur” pada awal abad ke-18, Ia mengatakan bahwa wirausaha adalah seseorang yang menanggung resiko. Menurut pendapat Jose Carlos Jarrilo-Mossi; bahwa wirausaha adalah seseorang yang merasakan adanya peluang, mengejar peluang yang sesuai dengan situasi dirinya, dan percaya bahwa kesuksesan merupakan suatu hal yang dapat dicapai. Artinya kewirausahaan adalah diperuntukan bagi setiap orang, karena itu setiap orang berpotensi untuk menjadi wirausahawan.
Menurut Geoffiey G. Mendith, kewirausahaan merupakan gambaran dari orang yang memiliki kemampuhan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil keuntungan dari padanya, serta mengambil tindakan yang tepat guna memastikan kesuksesan.
Menurut Poppi King ; Bahwa ketiga hal tersebut itu selalu dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka bukanlah itu berarti bahwa kewirausahaan adalah milik semua orang.
Ada beberApa kata kunci bagi upaya menjadi wirausahawan, antara lain ;
- Memprediksi berbagai kemungkinan yang terjadi pada masa depan.
- Memiliki fleksibilitas tinggi (kemampuhan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan usaha).
- Mengantisipasi berbagai kemungkinan dengan mengubah aturan main.
Kemampuhan melanjutkan perubahan dari aturan atau bentuk yang telah ada sebelumnya.
Landasan Utama Pendidikan Kewirausahaan
- Landasan Teologis
Islam memang tidak memberikan penjelasan secara ekplisit terkait konsep tentang kewirausahaan (enterpreneurship) ini, namun ajaran Islam memiliki ruh atau jiwa yang sangat kuat dan relevan meskipun bahas teknis yang berbeda. Dalam Islam digunakan istilah kerja keras, kemandirian (biyadih).
Setidaknya terdapat beberapa ayat Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini, seperti ‘Amalul ar-rajuli biyadihi’ (amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringat sendiri), al-yad-ul ‘ulya khairun min al-yad-ul sufla (tangan diatas lebih baik dari tangan di bawah). Dengan bahasa simbolik ini Nabi Muhammad SAW mendorong ummatnya untuk bekerja keras supaya memiliki kekayaan, sehingga dapat memberikan sesuatu pada orang lain, dan bisa menunaikan zakat (attuzakkah), menjadi muzaqqi yaitu orang yang senantiasa menunaikan zakat. Firmal Allah SWT yang mewajibkan manusia untuk bekerja keras agar kaya dan dapat menjalankan kewajiban menunaikan zakat, Dalam Al-Qur’an Surat Al-Qhashas ayat 77 berbunyi sebagai berikut :
وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ
Artinya:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Qs. Al-Qha
Bahkan sabda Rosulullah SAW ; Sesungguhnya bekerja mencari rizqi yang halal itu merupakan kewajiban setelah ibadah fardlu. Nash ini jelas memberikan isyarat agar manusia bekerja keras dan hidup mandiri, dalam Hadits Rosulullah SAW. Berikutnya, berbunyi : I`mal Li Dunyaka Ka’annaka Ta’isu Abadan, Wa’mal Li- Akhiratika Ka’annaka Tamutu Ghadan; Yang artinya, Carilah kehidupan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan carilah kehidupan akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok.
Dalam sejarah Nabi Muhamad SAW, Istri beliau dan sebagain besar shabatnya adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara yang piawai. Beliau adalah praktisi ekonomi. Oleh sebab itu tidaklah sesuatu yang asing jika dikatakan bahwa mental entrepreurship inhern dengan jiwa umat Islam itu sendiri. Bukankah islam adalah sebagai agama kaum pedagang, disebarkan ke seluruh dunia sampai abad ke-13 M, oleh para pedagang muslim. Demikian pula dengan keberadaan Islam di Indonesia juga disebarkan oleh para pedagang, disamping menyebarkan ilmu agama, para pedagang ini pun mewariskan keahlian berdagang khususnya pada masyarakat pesisir, di wilayah Pantura, misalnya, sebagain besar masyarakatnya memiliki basis keagamaan yang kuat, kegiatan mengaji dan berbisnis sudah menyatu (terintegrasi) sehingga muncul istilah yang sangat populer “Jigang” (ngaji dan dagang). Sabda Rosulullah SAW; “Hendaklah kamu berdagang karena didalamnya terdapat 90 persen pintu rizqi”
- Landasan Yuridis
Pendidikan kewirusahaan merupakan solusi tepat dalam menghadapi era kompetitif, karena itu hal ini sangat didukung sekali oleh pemerintah dalam mempersiapkan peserta didik menjadi lulusan yang cakap, kreatif, terampil serta mampu mandiri, beberapa langkah pemerintah dalam mendukung program pendidikan kewirausahaan diantaranya berdasarkan pada:
- Pancasila dan UUD Tahun 1945, Pancasila memberikan landasan filosofis serta berbagai prinsip dasar dalam pembangunan pendidikan. Berdasarkan landasan filosofis tersebut, sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai mahluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya dengan tugas memimpin kehidupan yang berharkat dan bermartabat dan menjadi manusia yang bermoral, berbudi luhur, mandiri, kreatif, inovatif, dan berakhlak mulia.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 ditegaskan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
- Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Ini memberikan arah dalam melaksanakan gerakan memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan di sektor masing-masing sesuai dengan tugas, kewenangan dan tanggung jawabnya di bawah koordinasi Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil. Melalui gerakan ini diharapkan budaya kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh dan mandiri.
- Surat Keputusan Bersama Menteri Negara Koperasi dan UKM dan Menteri Pendidikan Nasional No. 02/SKB/MENEG/2000/ dan No. 4/U/SKB/2000 tertanggal 29 Juni 2000 tentang Pendidikan Perkoperasian dan Kewirausahaan. Tujuan dari SKB adalah (a) memasyarakatkan dan mengembangkan perkoperasian dan kewirausahaan melalui pendidikan, (b) menyiapkan kader-kader koperasi dan wirausaha yang profesional, (c) menumbuhkembangkan koperasi, usaha kecil dan menengah untuk menjadi pelaku ekonomi yang tangguh dan profesional dalam tatanan ekonomi kerakyatan.
- Pidato Presiden pada Nasional Summit Tahun 2010 telah mengamanatkan perlunya penggalakan jiwa kewirausahaan dan metodologi pendidikan yang lebih mengembangkan kewirausahaan.
- Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Penjaminan Kualitas Pendidikan, khususnya pada pasal 4 butir (d); Penyelenggaraan proses pendidikan harus dibarengi dengan upaya inovasi dan kreasi kearah kewirausahaan untuk mengembangkan kemandirian.
Fungsi dan Tujuan di atas, menunjukkan bahwa pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Permasalahannya adalah apakah pendidikan di masing-masing satuan pendidikan telah diselenggarakan dengan baik, dan mencapai hasil yang diharapkan. Untuk melihat kualitas penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator
- Landasan Empiris
Di Indonesia Pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) masih kurang mendapat perhatian, baik oleh dunia pendidikan, masyarakat maupun pemerintah. Banyak praktisi pendidikan yang kurang memperhatikan aspek-aspek penumbuhan mental, sikap, dan prilaku kewirausahaan peserta didik, baik di sekolah kejuruan maupun professional sekalipun. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada upaya-upaya menyiapkan tenaga kerja yang siap pakai.
Selain itu, pandangan masyarakat sendiri menambah buruk perhatian kewirausahaan, karena masih menganut kultur lama, yaitu Feodalisme (priyayi) yang diwariskan oleh penjajahan Belanda. (Subur, 2007:12). Masyarakat masih memiliki persepsi dan harapan bahwa output dari lembaga pendidikan dapat menjadi pekerja (karyawan, administrator atau pegawai), masyarakat beranggapan bahwa menjadi pegawai negeri pemerintah atau PNS akan lebih memiliki status sosial cukup tinggi dan disegani masyarakat. Fenomena , pola berfikir dan orientasi hidup kepada pengembangan kewirausahaan merupakan suatu yang mutlak dan mulai dibangun, paling tidak dengan melihat realitas sebagai berikut:
- Senantiasa terjadi ketidak seimbangan antara pertambahan jumlah angkatan kerja setiap tahun jika dibandingkan dengan ketersediaan lapangan kerja yang ada. Tentu saja kondisi seperti ini akan mengakibatkan persaingan yang semakin ketat dalam upaya mendapatkan pekerjaan. Sementara hidup ini tidak dapat dihentikan sejenak, tetapi harus berjalan dan penghasilan tetap harus dicari untuk menutupi berbagai kebutuhan hidup yang kian hari kian melambung tinggi.
- Dalam menghadapi tantangan kompetitif ini harus disipkan manusia mandiri (independent) yang memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif, mampu membangun kemitraan sehingga tidak menggantungkan pada orang lain. Menurut Samuel Huntington, disini Hukum Insani Berlaku, bahwa yang mampu bertahan adalah mereka yang berkualitas.
- Posisi pekerja, karyawan, dan pegawai (pada umumnya di negara berkembang) sering berada pada posisi yang lemah dan ditempatkan sebagai alat produksi (subordinasi) sehingga tidak memiliki daya tawar yag seimbang. Bekerja sebagai karyawan/pegawai dapat mencerminkan jiwa pemalas. Sebaliknya, ia malah tidak dapat mengembangkan ide dan visi selama ia bekerka untuk orang lain.
Berdasarkan penelitian di Harvard International Univercity Amerika Serikat (Ali Ibrahim, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan tehnis (Hard Skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuhan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh (hard skill) dan sisanya 80% oleh (soft skill), termasuk orang-orang tersukses di dunia berhasil dikarenakan lebih banyak di dukung kemampuhan saft skill dari pada hard skill. Hal ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan kewirausahaan peserta didik sangat untuk segera ditingkatkan.
Berdasarkan realita, menurut LIPI, (2012), terdapat perbedaan yang sangat tinggi dikawasan Asia Tenggara khususnya (Singapura, Malaysia dan Tailand dengan Indonesia), Indonesia sangat tertinggal karena Indonesia hanya memiliki jumlah wirausaha sekitar 400.000 orang, atau berkisar 0,18 %, yang seharusnya berjumlah 4.400.000 orang pada setiap tahun, berarti Indonesia kekurangan jumlah wirausaha sebesar 4 juta orang atau 9.0% pada setiap tahun.
Pendidikan kerirausahaan memiliki peluang yang sangat besar dalam menumbuhkembangkan peserta didik menjadi wirausaha, namun sebagaian lembaga pendidikan di indonesia, pendidikan kewirausahaan di sekolah belum menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai dan belum pada tingkatan internalisasi atau tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, jika sistem ini dilaksanakan secara optimal, menurut Engkoswara (1999), maka Indonesia akan semakin membaik dan dinamis, kuat dan tangguh serta bernilai kemandirian.
Menurut Azzumardi Azra (2010), pendidikan pesantren sebagian belum menyentuh dalam pengembangan model pendidikan kewirausahaan terutama pada pesantren Salafiyah, tetapi pada pesantren kholafi dan modern telah nampak ada usaha nyata secara sistemik melaksanakan proses pendidikan kewirausaahan dan telah menuai keberhasilan dan kemandirian, diantaranya; Pesantren Lirboyo, pesantren Alfath, pesantren Gontor–Ponorogo, pesantren Al-Ittihad, pesantren Al-Ittifaq, pesantren As-Salam, Pesantren Al-Bayan, Miftahul Huda-AlFitrh dll (Komarudin Hidayat, 2012). Semuanya terjadi pada pondok pesantren kholfi dan pesantren modern, sedangkan sebagian besar pesantren salafi hingga saat ini belum menerapkan pendidikan kewirausahaan, ada sejumlah permasalahan dan hambatan yang mendasar dialami peesantren salafi.
Permasalahan dan Hambatan Utama Kewirausahaan di Pesantren.
- Masalah Utama.
Menurut Buya Hamka (1973) ada dua permasalahan besar yang dialami pendidikan pondok pesantren tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan nilai-nilai entrepreneurship yaitu:
- Faktor Internal, pemangku kebijakan atau figur Ulama pondok pesantren telah bertekad berhimmah kepada guru untuk melanjutkan pola dan sistem pengajarannya seperti yang telah diajarkan oleh guru sebelumnya, sehingga tidak memiliki ruang dan waktu untuk mengejawantahkan penerapan kewirausahaan secara produktif dan mandiri kepada para santrinya.
- Faktor Eksternal, para pemangku kebijakan atau figur ulama pondok pesantren tidak melihat adanya konsistensi penerapan ajaran Islam secara kaffah pada pondok-pondok pesantren yang telah mengalami perubahan atau pembaharuan ke arah modern. Dengan kata lain, sistem pembelajaran yang pokok yang mesti diajarkan kepada para santri secara utuh dan menyeluruh tidak dapat terlaksana dengan baik dan maksimal, bahkan fakta menunjukkan bahwa pondok yang melakukan pembaharuan ke arah modern dan menerapkan sistem kewirausahaan memiliki kecenderungan ke arah pendekatan “materi” dan cenderung mengurangi pemahaman dan keyakinan berbuat ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah.
- Hambatan Utama.
Menurut Azzumardi Azra (1987), secara garis besar hambatan-hambatan utama dalam penerapan kewirausahaan di pesantren, meliputi sebagai berikut :
- Hambatan yang bersifat psikologis, artinya masih ada rasa kehawatiran terjerumus kepada orientasi material dan terlupakan pendidikan agama, ada rasa takut tertipu oleh pihak ketiga dan berpindah kekuasaan.
- Belum adanya kurikulum pesantren secara konseptual tentang pendidikan kewirausahaan di pesantren, yang ada baru sekedar pembinaan dan DIKLAT dari dinas terkait.
- Iklim investasi di pesantren belum kondusif, para investor terlalu ketat dan terkesan ragu-ragu dalam menginvestasikan modalnya usahanya, hal ini melihat kondisi Kiayi, para guru serta santri kurang meyakinkan dapat melaksanakan usaha.
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk usaha terkadang sulit di bangun mengingat kondisi dan letak strategisnya tidak dirancang melalui penataan ruang sebelum pembagunan pesantren.
Strategi Penerapan Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren .
Gerry Johnson dan Kevan Scholes dalam bukunya Exploring Corporete Strategi, menefinisikan strategi sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi unutk mendapatkan keunggulan melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah untuk mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berkepentingan.
James Brain Quinn, dan John Voyer (1995), dalam bukunya The Strategy Process,Prentice-Hall,Inc; Mendefinisikan strategi sebagai 5P, yaitu sebagai Persoectif, strategi sebagai posisi, strategi sebagai Planning, strategi Pola, dan strategi sebagai ”Ploy” yang bersifat rahasia.
John A.Pearce dan Richard B.Robinson Jr; Mendefinisikan strategi sebagai seperangkat keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi dari rencana yang didesain untuk mencapai tujuan. David, 2004, strategi adalah cara untuk mencapai tujuan jangka panjang. Strategi bisnis bisa berupa perluasan goegrafis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan produk, penetrasi pasar, rasionalisasi karyawan, divestasi, likuidasi fan joint venture.
Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah kedepan untuk membangun visi dan misi organisasi, menetapkan tujuan strategis dan keuangan perusahaan, beberapa langkah yang perlu dilakukan dirumuskan sebagai berikut :
- Mengidentifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh perusahaan dimasa depan dan menentukan misi perusahaan untuk mencapai visi yang dicita-citakan.
- Melakukan analisis lingkungan internal dan eksternal untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh perusahaan.
- Merumuskan fakto-faktor ukuran keberhasilan (key sucsess factors) dari strategi-strategi yang dirancang berdasarkan analisis sebelumnya.
- Menentukan tujuan dan target terukur, mengevaluasi berbagai alternatif strategi dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki dan kondisi eksternal yang dihadapi.
- Memilih strategi yang paling sesuai untuk mencapai tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Strategi memiliki empat tingkatan yang disebut Master Strategy, yaitu : Enterpricestrategy, Corporate strategy, Business strategy dan Fungsional strategy.
Implementasi Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren .
Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan ( dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi memiliki daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Menurut Shardlow (1998;32), menjelaskan bahwa pengertian pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu.kelimpok maupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan seuai dengan keinginan sendiri. Menurut Robinson (1994), pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial, atau suatu pembebasan kemampuhan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sumarjono (1999) menyebutkan bahwa ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu :
- Mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke-depan)
- Mampu mengarahkan dirinya sendiri.
- Memiliki kekuatan untuk berunding
- Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan.
- Bertanggungjawa atas tindakannya.
Pendidikan yang menumbuhkan spirit kewirausahaan di Pondok Pesantren. Menumbuhkan jiwa kewirausahaan merupakan “pintu gerbang” dalam membentuk pribadi yang ulet, cerdas dan bertangungjawab, pada sebagian pondok pesantren di tanah air sebenarnya telah memberikan warna tersendiri dalam konteks pengembangan kewirausahaan ini namun belum terkoordinasi secara melembaga, secara praktis banyak pondok pesantren yang secara spontanitas mengembangkan kegiatan kewirausahaan, para santri memanfaatkan waktu pada siang hari untuk melakukan berbagai kegiatan pengembangan keterampilan (bengkel, berdagang,home industri,budidaya ikan dan pertanian dll), dan pada sore, malam serta setelah subuh para santri melaksanakan kegiatan belajar ngaji “Learning by doing”. Fakta sejarah membuktikan bahwa kebiasaan seperti ini telah dilakukan oleh para ulama dan santri terdahulu dimana mereka berdakwah sambil berdagang dalam berbagai jenis produk (beras, tembakau, lada, cengkeh kopi, ikan asin dll), hal ini menunjukan bahwa sprit usaha dan bekerja “entrepreneurship” telah tumbuh dan berkembang sangat lama di Indonesia (Buya Hamka, 1978).
Menurut DR. Rudi Rusyana (2016); Sebagai gambaran umum, hasil penelitian tentang keberhasilan pesantren Salafi dan kholafi, penerapan dan pengembangan pendidikan kewirausahaan, antara lain ;
- Pesantren Lirboyo, memiliki lahan pertanian produktif, Mini Market, SPBU dan Koperasi Baitul Mal Wattamwil)
- Pesantren Al-Fath; memiliki koperasi yang berhasil melakukan kerjasama perdagangan dengan unilever dan perusahaan batik.
- Pesantren Al-Muhajirin; Memiliki Prudential Syari’ah yang melibatkan masyarakat (Tabungan Kurban,Umroh, Berproteksi, dan Tabungan Pelajar), dan juga kerjasama dengan pabrik Aqua Golden Misissifi, distributor Air dalam kemasan.
- Pesanten Al-Bayan; Memiliki lahan pertanian produktif (sayur-mayur) kerjasama dengan MNC-Graup dalam pemasaran.
Seluruh aktifitas usaha tersebut sebagain besar dilakukan oleh para santri dalam suatu sistem manajemen yang profesional tanpa menggangu proses belajar dan mengaji.
Menurut DR. Purwa Hadi; (2014) dalam bukunya Manajemen kewirausahaan di Pesantren, dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
- Seluruh santri diberikan modal yakni, penanaman nilai-nilai aqidah yang kuat, sebagai sumber inspirasi dan motivasi bahwa berwirausaha merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, serta untuk mendapatkan manfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat pada umumnya dimasa yang akan datang, sehingga menjadi sebuah kekuatan baru.
- Melakukan pola reformasi pada kurikulum, manajerialnya, serta strategi pembelajarannya, dengan prinsip “Meneruskan Tradisi Lama yang baik dan Mengambil sesuatu yang Baru”
- Memberikan DIKLAT keterampilan baik dalam manajemen maupun dan analisa usaha yang bekerjasama dengan pemerintah daerah dan perusahaan perbankan syari’ah.
- Menentukan kelompok santri sesuai dengan jenis dan kegiatan usaha (team work) yang dibimbing oleh guru dan konsultan dari perusahaan.
- Melakukan langkah yaitu pengembangan sayap ke bawah, keberbagai daerah dengan mengutus para guru (Mubaligh) untuk mempromosikan perusahaan di pesantren yang bersangkutan.
- Membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan secara bertahap meski terdapat kesulitan secara internal.
Manfaat Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren.
Manfaat penerapan pendidikan kewirausahaan di pesantren, secara garis besar, meliputi sebagai berikut :
- Manfaat kepada lembaga : Lembaga memiliki incame dari hasil usaha yang berharga untuk meningkatkan kulitas lembaga pendidikan pesantren.
- Manfaat kepada guru-guru: Guru-guru pesantren memiliki pendapatan yang riil pada setiap bulan
- Manfaat kepada santri : Santri memiliki keterampilan khusus sebagai pengalaman yang akan bermanfaat bagi diri dan kelaurganya dimasa mendatang, dan mendapat insentif untuk bekal sehari-hari.
Pendidikan kewirausahaan sangat bermanfaat ganda bagi santri, mereka memiliki pengalaman berwirausaha sebagai bahan untuk memenuhi kebutuhan hidup masa yang akan datang secara mandiri.
- PENUTUP.
Simpulan.
- Pendidikan Pesantren khususnya pesantren Salafi sudah saatnya secara terbuka dan terus mengembangkan penerapan pendidikan kewirausahaan di pesantren kepada para santri sebagai orientasi dan perwujudan Fiqh Sosial (Fiqih Muamalah), karena nilai-nilai kewirausahaan telah dicontohkan oleh para ulama terdahulu, yakni berdakwah sambil berdagang, dan secara syar’I yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Assunnah, diperkuat oleh seperangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan kedepan. Upaya ini tidak perlu meninggalkan khittah Salafiyahnya, permasalahan klasik yang terjadi mesti secara bertahap dijadikan hikmah dan perlu menatap kedepan.
- Agar upaya pendidikan kewirausahaan di pesantren terarah maka diperlukan Strategi dan komitmen dari segenap pimpinan pondok pesantren (Kiayi, Guru /Ustadz) dan pihak ketiga (jika diperlukan) untuk membangun konsep Perencanaan dan strategi yaitu merubah pola pikir, melakukan pemberdayaan pemikiran (paradigma) santri dengan memberikan internalisasi ajaran Islam secara terintegrasi akan penting dan strategisnya berwirausaha yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga santri-santri memiliki spirit dan motivasi, pembinaan melalui DIKLAT menentukan kelompok usaha, membangun sayap sebagai upaya promosi dan membangun sarana prasarana sesuai kebutuhan berwirausaha secara bertahap. Pada Pelaksanaan kegiatan wirausaha santri yang telah dibekali pembinaan harus terlibat secara aktif, melakukan proses managerial usaha secara profesional, dibarengi dengan pengawasan secara periodik. Tahap berikutnya adalah, Evaluasi dilakukan secara berkala, dan evaluasi akan lebih baik apabila dilakukan melalui forum rapat yang khusus untuk itu, dan semua elemen yang berhubungan dengan usaha harus hadir menyampaikan informasi dan permasalahan yang dihadapi, sehingga pada rapat tersebut sekaligus sebagai sarana untuk memecahakan berbagai permasalahan yang dialami oleh santri dan diketahui oleh kiayi dan guru-guru.
- Penerapan praktis pola kewirausahaan pesantren akan memberi dampak positif dan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan kiayi dan para ustadz dan keluarga secara langsung, begitu pula dipastikan membawa dampak positif dan bermanfaat besar baik kepada internal lemabaga pesantren dapat mengembangkan kelembagaannya secara lebih terarah dan kredibel, demikian juga untuk para santri memiliki pengetahuan, pengalaman dan terutama bermanfaat untuk masa depannya dalam membangun kemandirian hidupnya dimasa yang akan datang.
Saran.
- Penulis menyarankan agar seluruh Pondok Modern dan Pesantren Salafi dapat bertahan namun perlu ada pembaharuan pemikiran ke arah produktifitas melalui konsep Kewirausahaan Psantren. Penerapan Pendidikan Kewirausahaan di Pesantren pasti mengalami kesulitan, namun perlu terus dilakukan secara bertahap, serius dan berkelanjutan, seperti telah diberikan contoh oleh beberapa p
- Pondok pesantren yang telah berhasil dalam membangun kewirausahaannya, antara lain Pondok Pesantren Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Kota Sukabumi, Pondok Pesantern Al-Fath Kota Sukabumi, Pondok Pesantren Al Bayan Kabupaten Sukabumi, Pondok Pesantren Daarul Ahkam Bandung, dan Pesantren lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
- Apabila Pesantren Salafi mendapat kesulitas untuk membangun penerapan pendidikan kewirausahaan, hendaklah dilakukan upaya pendekatan baik dengan pesantren yang telah menerapkan kewirausahaan, dan atau melakukan konsultasi dan meminta pendampingan kepada orang atau lembaga yang bertugas dan atau memiliki kewenangan yang berhubungan dengan rencana tersebut, Insya Allah, Bisa dan Pasti Bisa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Atas, Syekh Muhammad Al-Naquib, (1998), Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung, Mizan.
Ali Ibrahim, (2000), Disertasi. Harfard Internasional University, Amerika Serikat.
Annahlawi, Abdurrahman. (1992), Ushul al-Tarbiyyah al-Islamiyyah waasalibuha, Bandung, CV. Diponegoro.
Anwar, Q, (1998), Solusi Islam atas Probelmatika Ummat (Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah), Jakarta; GIB
Azzumardi Azra, (1990), Eksistensi Pondok Pesantren dalam menghadapi Era Globalisasi, Jakarta ; GIP.
Buya Hamka (1985) Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta, LP3ES.
Bogdan & Biklen (1990), Riset Kualitatif untuk Pendidikan : Pengantar Teori dan Praktek (Alih Bahasa oleh Munawir), Jakarta ; UT.
Dadan Munawarullah, (2006), Strategi Pemberdayaan Santri dalam Kewirausahaan Pesantren. (Thesis, PPS. Uninus Bandung, tidak diterbitkan)
Dhofier, Zamakhasari, (2011), Tradisi Pesantren Studi Pandangan Hidup Kiayi, Jakarta, LP3ES.
Divisi Buku Perguruan tinggi, (2006), Mencetak Muslim Modern Peta Pendidikan Islam Indonesia, Jakarta, PT, Radja Grafindo Persada.
Engkoswara, (1987), Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta, LP2TK.
Imam Bukhori, Shahih Bukhari, Kairo, Mustafa Babi Halabi
Kindred, L,W, (1979), School Publik Relations, New Jersey : Prentice Hall.
Nasrudin, (2008), Pondok Pesanten Sebagai Lembaga Pendidikan Islam, Bandung, Rosda karya.
Rahardjo Dawam, (1985) Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta, LP3ES.
Rahmat, (1999), Pengertian Strategi. Diakses 12 Desember 2017.
Ramayulis (2011), Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta, Kalam Mulia.
Salahudin Sanusi, (1985), Integrasi Ummat Islam. Jakarta, Raja Grafindo.
Suryanto (ed), (1997) Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya, Apollo.
Wardoyo, P (2005) Kewirausahaan Seorang Muslim. Bandung, Mizan.
Zubaidi, (2007), Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren; Kontribusi Fiqh Sosial dalam Perubahan Nilai-Nilai Pesantren. Jakarta, Pustaka Pelajar.