Oleh: Dr. H. Syafruddin Amir, MM.
Abstrak
Pengaruh ideologi neoliberalisasi dengan seperangkat nilai-nilainya seperti individualisme, materialisme, sekularisme, hedonisme, rasionalisme, budaya konsumenisme yang tinggi dan pengaruh budaya pasar dengan nilai-nilai kapitalismenya yang telah menghantam kepribadian bangsa Indonesia dengan kehidupan politik yang demokratis, sehingga kita sebagai bangsa Indonesia hampir melupakan nilai-nilai budaya lokalnya sendiri maupun agama yang selama ini kita yakini. Dampaknya, pendidikan di Indonesia pun memberikan warna yang bukan keindonesiaan, akan tetapi malah lebih kebarat-baratan dibanding dengan masyarakat Eropa dan Amerika Serikat sekalipun.
Penulis mencoba menyuguhkan Pendidikan Karakter Berbasis Falsafah Bangsa yang diharapkan dapat memberikan solusi terbaik untuk pendidikan Indonesia yang lebih diwarnai oleh budaya bangsa.
Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Falsafah Bangsa
- Pendahuluan
Pendidikan dapat dikatakan sebagai proses pemberdayaan, yaitu proses untuk mengungkapkan potensi yang ada pada manusia sebagai individu, yang selanjutnya dapat memberikan sumbangan kepada keberdayaan masyarakat lokal, kapada bangsanya, dan pada akhirnya pada masyarakat global. Dengan demikian, pendidikan perlu diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak didik agar mampu mandiri.
Setiap anak didik perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti konsep, prinsip, kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan, inilah, makna pendidikan yang harus senantiasa dipegangi oleh para pendidik, yaitu mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dalam kamus Webster’s New World Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Nanang Fattah, pendidikan dirumuskan sebagai proses pengembangan dan latihan yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan kepribadian (character), terutama yang dilakukan dalam suatu bentuk formula (per sekolahan) kegiatan pendidikan mencakup proses dalam menghasilkan (production) dan transfer (distribution) ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh individu atau organisasi belajar (learning organization).
Memang sudah tidak terbantahkan lagi bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok bagi semua makhluk yang mempunyai akal sebagai alat berpikir, karena pendidikan yang akan mengantarkan manusia kepada ilmu, dan ilmu yang akan memberikan apa pun yang menjadi obsesi dan cita-cita seluruh manusia.
Bagi sebagian orang, definisi dari pendidikan adalah menyekolahkan anak mereka pada sebuah sekolah yang dapat memberikan ilmu pengetahuan bagi anak tersebut. Ringkasnya, bagi mereka pendidikan hanya dapat diperoleh disekolahan. Padahal, pendidikan sesungguhnya bukan hanya dapat diperoleh disekolah, melainkan juga diluar sekolah. Pendidikan bisa diperoleh lewat orang tua, teman-teman, lingkungan, hingga media massa seperti televisi, koran, majalah, atau buku. Semua itu dapat menjadi guru bagi anak-anak. Tentu saja, hal tersebut merupakan tantangan bagi kita untuk mampu membuat dan merekayasanya agar menjadi tuntutan yang baik.
Agama Pancasila, dan UUD 1945 adalah rujukan dimana seluruh gerak langkah aktivitas di Negara Indonesia dalam bentuk apa pun mesti disandarkan kepadanya,[1] ketiga dasar rujukan itu dapat menjadi pedoman yang sinergis untuk menciptakan keteraturan dalam berbagai dinamika kehidupan di negeri ini, termasuk di dalamnya adalah masalah penyelenggara pendidikan.
Agama menampakkan tata nilai tertinggi dengan meletakkan pendidikan sebagai basis perjuangan; Pancasila merupakan ideologi untuk mewujudkan karakternya sebagai ruh ajaran pada setiap sisi perjalanan bangsa, serta memberikan doktrin kepada seluruh anak bangsa untuk senantiasa cinta tanah air, dan UUD 1945 adalah konstitusi negara yang mengamanatkan banyak hal berkaitan dengan penyelenggara pendidikan yang kemudian harus menjadi guiden bagi seluruh pihak yang terkait, terlebih pemerintah sebagai komponen utama.
Hasil amandemen ke-4 UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002, pada alinea keempat Pembukaan dapat ditarik empat makna yang berarti tujuan dari pembentukan pemerintah Indonesia, yaitu:
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- Memajukan kesejahteraan umum;
- Mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[2]
Kemudian pada batang tubuh UUD 1945 terdapat poin-poin penting diantaranya:
- Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”.[3]
- Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.[4]
- Pasal 31:
- Tiap-tiap warga ngeara berhak mendapat pendidikan
- Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
- Pemerintahan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
- Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
- Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.[5]
Sejalan dengan UUD 1945, untuk menjalankan pola dan manajemen pendidikan, Indonesia juga memiliki Undang-undang khusus yang mengatur tata sistem penyelenggaraan pendidikan, yakni Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Apabila merujuk kepada undang-undang tersebut, pada Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 Ayat 2 menyatakan bahwa yang disebut dengan Pendidikan Nasional adalah “pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.[6]
Kemudian pada Bab II (Dasar, Fungsi dan Tujuan) Pasal 3 disebutkan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”.[7]
Apabila kita mencermati pasal-pasal tersebut, tampak jelas adanya sebuah konsep, bahkan grand design yang ditujukan untuk menciptakan sistem penyelenggara pendidikan yang professional, progressif dan bertanggung jawab, yang bersinergi antara satu komponen dengan komponen yang lainnya, serta masing-masing memainkan fungsinya dengan baik, hal itu senapas dengan tujuan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Konsep yang ideal tersebut tampaknya memang tidak mudah untuk diejawantahkan. Kenyataan di lapangan tidak seindah yang tertulis. Semua komponen seperti menjalankan tugasnya sendiri-sendiri tanpa menyesuaikan dengan araah pokok sinergitas yang diamanatkan oleh undang-undang.
Di pihak lain, derasnya arus globalisasi dan modernisasi pun sulit dibendung. Kita lihat betapa berbagai informasi dari segenap penjuru bumi kini dapat dengan mudah diakses. Fenomena ini tentu turut mempengaruhi upaya penyelenggaraan pendidikan nasional kita.
Di satu sisi, derasnya informasi global sesungguhnya banyak memberi nilai positif pada perkembangan anak didik. Akan tetapi, disisi lain, serbuan informasi dengan segala kemudahan untuk mengaksesnya itu pula yang dapat menjerumuskan anak didik.
Tidak dapat dipungkiri jika beragam infromasi, ilmu dan pengetahuan baru kini dapat dengan mudah diperoleh. Semua itu tentu memberi efek percepatan pada kualitas intelektual anak didik. Namun, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa informasi-informasi yang bermuatan negatif pun kini sulit dibendung. Nyaris tidak ada teknologi yang dapat memfilter informasi-informasi negatif tersebut agar tidak sampai kepada peserta didik.
Memang pada kenyataannya kita tidak boleh mengisosiasi diri dari perkembangan global. Kecuali jika kita memang ingin tergilas oleh perkembangan tersebut. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar menu dan metodologi pengajaran yang ada dapat menanamkan filter dalam nurani setiap anak didik sehingga mereka bisa memilih dan memilah dengan arif dan bijak.
Dengan demikian, sebagai salah satu komponen bangsa yang concern terhadap pendidikan anak negeri, sudah sepatutnya kita senantiasa melakukan penelaahan dan menganalisis berbagai realitas tersebut agar kelak tercipta formulasi ideal sekaligus manifestatif bagi sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih baik.
Menilik pada apa yang telah diuaraikan sebelumnya maka satu pokok pikiran penting yang harus dikaji lebih cermat adalah masalah budaya dan karakter, yakni bagaimana menciptakan keseragaman langkah yang terpadu dan simultan untuk menjadikan “Pendidikan Karakter Berbasis Falsafah Bangsa”.
- KULTURISASI DAN TATA KELOLA PENDIDIKAN
Pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
Pendidikan nasional perlu ditata, dikembangkan dan dimantapkan secara terpadu dan serasi, baik antar-berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan maupun antara sektor pendidikan dengan sektor pembangunan lainnya serta antar-daerah, dengan menggunakan manajemen pendidikan yang mutakhir, efektif dan efisien serta mengutamakan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejujuran, pendidikan professional serta meningkatkan pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat sebagai mitra pemerintah harus diberi kesempatana seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan nasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tuntutan kebutuhan serta perkembangan pembangunan.[8]
Bila kita coba mengulas kembali romantisme sejarah, pasti akan segera mucul pertanyaan “Sungguhkan sistem pendidikan kita dapat berubah secepat ini?”. Rasanya tidak! Sebab menurut Buchari sejak tahun 1960, sedikit demi sedikit pendidikan kita telah kehilangan wataknya sebagai suatu kekuatan kultural.
Pada zaman kolonial, kita pernah melahirkan suatu sistem pendidikan yang memiliki nasionalisme dan patriotisme sangat tinggi. Pada zaman pendudukan Jepang, sistem pendidikan kita juga memperlihatkan ketahanan yang teruji. Juga pada zaman revolusi fisik sampai tahun lima puluhan, sistem pendidikan kita memiliki ketahanan dan keluwesan yang sangat tinggi.
Boleh dibilang dalam periode 1908-1945, bahkan sampai 1959 kita pernah memiliki sistem pendidikan yang mempunyai watak kultural. Tak mengherankan, bila pada periode ini lahir tokoh-tokoh nasional seperti Dr. Sutomo, Bung Karno, dan Bung Hatta. Kendati tentu tak lepas dari kekurangan, tetapi bagaimanapun mereka telah menunjukkan kesungguhan, keberanian dan kegigihan yang patut diteladani.
Sejak tahun 1960, semuanya itu memudar perlahan-lahan. Disadari atau tidak, pada periode ini terjadi dekadensi pada sistem pendidikan kita. Dekadensi ini dapat dilihat dalam gejala bahwa dalam periode 1960 sampai sekarang sebagian besar darinya kita kenal dengan sebagai periode orde baru semangat kritis dan perlawanan masyarakat sedikit demi sedikit menghilang. Semua orang menyerah dan merasa tak berdaya, padahal rasa keadilan sedang diinjak-injak dan diperkosa. Semangat pada periode ini hanyalah mengabdi dan menyenangkan penguasa. Tak heran, pada periode ini tidak lahir tokoh-tokoh nasional yang dapat diteladani dan dibanggakan.[9]
Dekadensi pendidikan kita juga tampak pada fakta bahwa selama masa 1960 hingga 1998 institusi pendidikan, seperti sekolah telah menjadi bagian dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Akibatnya, sekolah dan gurunya sudah tidak memiliki otonomi pendidikan lagi.
Berkaitan dengan hal itu, Mochtar Buchari menyatakan dengan keras, “Para guru di lembaga-lembaga pendidikan ini tidak lagi mampu bertindak sebagai pendidik yang berwibawa dan mandiri, tetapi telah diturunkan derajatnya menjadi pelaksana-pelaksana belaka dari berbagai intruksi yang dikeluarkan birokrasi. Guru tidak lagi memilki kebebasan pedagogis dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Guru semata-mata menjadi instrument birokrasi. Kegiatan yang terjadi secara rutin di sekolah-sekolah kita bukan lagi kegiatan pendidikan, melainkan kegiatan birokrasi untuk melaksanakan instruksi. Setelah seluruh instruksi dilaksanakan, terasa bahwa tidak terjadi satu pun kegiatan pendidikan yang berarti”.[10]
Karena itu, mutlak diperlukan adanya reformasi pendidikan. Menurut Buchori, “Reformasi pendidikan yang mendasar ialah reformasi yang mampu mengembalikan otonomi pedagogis kepada sekolah dan guru”.[11] Itu berarti pula, fungsi-fungsi pendidikan yang dirampas oleh birokrasi harus dikembalikan kepada guru dan sekolah.
Dalam konteks tersebut, Pendidikan Pancasila termasuk pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan perlu dilanjutkan dan ditingkatkan di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan termasuk prasekolah sehingga terbentuk watak bangsa yang kokoh.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan keterampilan semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang di selenggarakan oleh pemerintah dan peran serta masyarakat, termasuk pendidikan di lingkungan keluarga dan masyarakat terus dikembangkan secara merata di seluruh tanah air dengan memberikan perhatian khusus kepada peserta didik, terutama menyangkut pembiayaan pendidikan, khususnya berasal dari keluarga yang kurang mampu, penyandang cacat, dan yang bertempat tinggal didaerah terpencil sehingga makin meningkat kualitas serta jangkauannya.[12]
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa selayaknya mendapat perhatian dan pelayanan lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya. Khusus untuk perguruan tinggi terus diusahakan agar lebih mampu menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengkajian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memberikan pengabdian kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sejalan dengan iklim yang makin demokratis yang mendukung kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi perguruan tinggi.[13]
Kurikulum dan isi pendidikan yang bernapaskan nilai-nilai agama harus terus disempurnakan dan dibina sesuai dengan tuntutan pembangunan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kepentingan serta kekhasan daerah sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan proses belajar mengajar yang berlangsung secara timbal balik, objektif dan terbuka untuk menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas dan inovasi serta membiasakan diri mengatasi permasalahan secara arif dan bertanggungjawab.[14]
Kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan, media pengajaran, teknologi pendidikan serta penulisan, penerjemahan dan penggandaan buku pelajaran, buku bacaaan, buku ilmu pengetahuan dan teknologi pun perlu terus ditingkatkan, dikembangkan, dan disebarluaskan secara merata dan bertanggungjawab dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bersamaan dengan itu, dikembangkan iklim yang dapat mendorong penulis dan penerjemahan buku dengan memberikan penghargaan dan perlindungan hak cipta.
Berbagai upaya tersebut, kiranya dapat menjadi awal untuk mengembalikan nilai-nilai pendidikan guru mewujudkan generasi cemerlang. Inilah tantangan kita bersama.
- KARAKTER BANGSA DAN NORMA-NORMA DASAR PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pengertian karakter Bangsa, istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “carakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak (Oxford). Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya, dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Definisi dari “The stamp of individually or group imperesed by nature, education or habit. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Ynag Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.[15]
Norma-norma dasar yang bersifat fundamental mengenai berbagai aspek kehidupan dalam suatu negara diatur di dalam Undang-Undang Dasar merupakan hukum dasar tertulis yang memuat aturan-aturan pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh.
Di samping itu, perlu disadari pula bahwa pada suatu negara juga berlaku hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berupa aturan-aturan dasar yang timbul dan tepelihara dalam kehidupan masyarakat bangsa. Dalam membahas aturan-aturan dasar mengenai aspek kehidupan yang disebut pendidikan, perhatian akan dipusatkan pada hukum dasar tertulis dengan tidak mengurangi arti dan makna keberadaan hukum tidak tertulis.
Oleh karena itu, untuk memahami norma-norma di dalam Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar, kita tidak cukup hanya dengan membaca pasal demi pasal, tetapi harus dilihat juga dalam praktiknya dan suasana kearifan lokal masyarakat. Untuk itu, perlu dipelajari tentang bagaimana terjadinya teks yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar tersebut. Dengan kata lain, Undang-Undang Dasar perlu dipelajari dari sudut hukum, sosiologis, bahasa dan sejarah terbentuknya, lengkap dengan keterangan-keterangannya yang akan memberikan gambaran tentang “dalam suasana seperti apa hukum dasar itu dibuat”.
Undnag-Undang Dasar sebagai ketentuan hukum hanya memuat aturan-aturan dasar (pokok) atau garis-garis besar dari norma-norma bagi setiap aspek kehidupan yang diaturnya. Aturan-aturan itu merupakan instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya dalam menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial.
Aturan-aturan yang lebih terurai yang menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu, diserahkan pada UU yang lebih membuat, mengubah dan mencabutnya. Dengan kata lain hanya aturan-aturan pokok saja yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Dasar, termasuk juga mengenai bidang pendidikan dan pengajaran. Adapun aturan-aturan untuk menyelenggarakan aturan-aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang organik tentang pokok-pokok pendidikan dan kebudayaan.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa penyelenggara norma-norma dasar dibidang pendidikan sebagaimana tercantum didalam Pembukaan UUD 1945 yang berlaku sekarang ini, pada dasarnya diinstruksikan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk :
- Mendasarkan setiap usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan pada pandangan hidup Pancasila yang terdiri atas kesatuan sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Setiap usaha pendidikan harus diwujudkan untuk mencapai tujuan negara dengan melakukan kegiatan pembentukan warga negara yang mampu ikut serta bersama pemerintah untuk: Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa; ketiga, memajukan kesejahteraan umum; dan keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[16]
Berdasarkan norma-norma dasar itu jelas bahwa sejak kemerdekaan pada tahun 1945 pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mewujudkan:
- Perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tiap-tiap warga negara Indonesia untuk mendapat pendidikan yang dinyatakan dalam perkataan pengajaran. Perlindungan dan pengakuan itu ternyata lebih dahulu daripada pengakuan dunia internasional yang dirumuskan oleh PBB didalam Declaration of Human Wright pada tahun 1949.
- Perlindungan hukum terhadap hak asasi yang berarti juga penyelenggara pendidikan di Indonesia tidak membedakan warga negaranya berdasarkan warna kulit, ras/keturunan, agama, kebudayaan, kebangsaan dan lain-lain.
- Pendidikan harus diselenggarakan untuk seluruh lapisan masyarakat guna mewujudkan tujuan kemerdekaan atau tujuan negara seperti disebutkan di atas.
- Penyelenggaraan pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang harus dikendalikan dan diawasi pemerintah sebagai pihak yang berwenang menetapkan suatu sistem pengajaran nasional.
- Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban menetapkan undang-undang organik tentang pokok-pokok pendidikan dan kebudayaan yang menjadi pedoman dalam mewujudkan sistem pengajaran nasional.
- Penyelenggaraan pendidikan harus bertolak dari dan untuk memajukan kebudayaan nasional atau kebudayaan bangsa sendiri. Dengan demikian berarti juga bahwa pendidikan merupakan bagian daripada kebudayaan, dan sebalikanya harus dipertahankan dan dikembangkan melalui proses pendidikan.
- KARAKTER BANGSA INDONESIA
Dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saaat ini dan di masa yang akan datang. Karena itu pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional.
Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku bangsa ras dan agama juga beraneka ragam budaya daerah. Maka, berangkat dari falsafah Negara Pancasila yang merupakan pencerminan nilai-nilai yang digali dari seluruh bumi nusantara, Moehamad Soeparno menawarkan rumusan karakter bangsa Indonesia, yang terdiri atas lima butir sebagai berikut:[17]
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, patuh kepada hukum, perundang-undangan serta peraturan yang berlaku.
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang bangga sebagai warga negara Indonesia serta mencintai Tanah Air dan bangsanya, berbudi pekerti baik, siap membela negara dan bangsa demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Bangsa Indonesia didalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa adalah manusia yang memiliki jiwa kebersamaan, gotong-royong, toleransi serta anti segala bentuk kekerasan.
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang berbadan sehat, bersih, hemat, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu, serta berdisiplin tinggi.
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar dengan jangkauan masa depan, penuh inisiatif, kreativitas, inovasi yang dilandasi dedikasi yang tinggi demi kemajuan pengabdian dan manfaat bagi kehidupan dirinya, bangsa dan negaranya serta manusia.[18]
- PENDIDIKAN KARAKTER DAN BUDAYA BANGSA
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog dan gelar wicara di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahain, massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar dan di berbagai kesempatan.
Berbagai alternatif penyelesaian pun diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Jantung dari proses pendidikan formal adalah kurikulum (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum, saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan kerakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya. Pendapat yang dikemukakan para pemuka masyarakat, ahli pendidikan, para pemerhati pendidikan dan anggota masyarakat lainnya di berbagai media massa, seminar, dan sarasehan yang diadakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional pada awal tahun 2010 menggambarkan adanya kebutuhan masyarakat yang kuat akan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Apalagi jika dikaji, bahwa kebutuhan itu, secara imperatif, adalah sebagai kualitas manusia Indonesia yang dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional.
Urgensi pembangunan sinergi komitmen dan perwujudan komitmen nasional pendidikan karakter tersebut telah dinyatakan pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan karakter Bangsa, dalam Deklarasi yang dibacakan pada akhir Sarasehan tanggal 14 Januari 2010, sebagai berikut:
- Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh
- Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara kompehensif sebagai pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh;
- Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat, satuan pendidikan dan orang tua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut;
- Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan dilapangan.[19]
Selanjutnya komitmen nasional tentang pendidikan karakter tersebut telah disosialisasikan, diperkaya dan dikuatkan dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan Tahun 2010 tanggal 3-4 Maret 2010 yang diawali dengan Pengarahan Menteri Pendidikan Nasional dan dilanjutkan dengan pembahasan secara meluas dan mendalam dalam Sidang Komisi Penguatan Peran Pendidikan dalam Upaya Peningkatan Akhlak Mulia dan Pembangunan Karakter Bangsa.
- PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS FALSAFAH BANGSA
Bangsa ini sesungguhnya memiliki modal yang sangat besar untuk menjadi negara modern namun berkepribadian. Modern saja tentunya tidak cukup, sebab tanpa memiliki kepribadian maka sebuah bangsa akan larut ke dalam tidakan yang salah arah. Banyaknya penyimpangan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme yang berpadu dengan moral masyarakat yang memiliki mental senang kekerasan, senang hura-hura bahkan bangga bila melanggar hukum, serta ketiadaan tanggung jawab. Maka jika demikian adanya, modern hanyalah akan meninggalkan kesemberawutan dan akan menyebabkan bangsa ini menjadi kolaps.
Salah satu diantara penyebab terjadinya semua itu adalah lemahnya kualitas mental bangsa ini dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat dan mengarah kepada modernisasi yang salah arah. Hal itu kemudian berbuah menjadi: Pertama, Banyak orang yang ingin menjadi kaya akan tetapi melalui jalan yang pintas. Kedua, Banyak orang ingin menjadi modern tetapi melalui jalan yang salah; Ketiga, Banyak orang yang ingin menjadi sejahtera tetapi melalui jalan yang tidak benar.
Kini guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada UUD 1945, turut bertanggungjawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 agustus 1945. Hal ini berarti bahwa Pancasila dijadikam sebagai cerminan dari pendidikan karakter bangsa Indonesia untuk membentuk jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, modern, bermartabat dan beradab.
Pandangan-pandangan para pemikir pendidikan Indonesia yang kutip diatas, masih persial. Seperti, pemikiran Pancasila, Islam dan budaya lokal masih sendiri-sendiri dan terpisah belum terintegritas secara keseluruhan dengan baik. Namun, oleh pendiri Republik, nilai-nilai yang persial yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan tersebut di atas diintegritaskan menjadi satu nilai, yaitu Pancasila. Sebenarnya Pancasila itu sudah mencerminkan dari ajaran Islam dan budaya lokal atau muatan lokal yang disebut sebagai nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Pacasila merupakan peradaban bangsa Indonesia yang merdeka.
Pada tanggal 30 September 1960 dalam Sidang Umum Majelis ke-XV Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bung Karno dengan retorika yang dinamis dan revolusioner menyatakan bahwa, Pancasila lebih mencerminkan kemanusiaannya yang beradab dibanding dengan Declaration of American Independence dari Thomas Jefferson. Pancasila lebih mengangkat harkat diri manusia dengan Ketuhanannya dibanding dengan Manifesto Komunis yang dimiliki oleh negara Uni Soviet.[20]
Tidak mudah mencari jalan keluar dari persoalan yang sedang dihadapi bangsa ini. Akan tetapi, ada satu instrument penting untuk membenahinya, yakni melalui pendidikan karakter. Setiap agama di Indonesia telah memberikan kewajiban bagi setiap umatnya untuk berprilaku terpuji. Salah satunya Islam yang sudah mengajarkan tentang keagungan akhlak mulia, di mana dalam Islam disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt. Untuk menyempurnakan akhlak agar menjadi mulia. Beliau menyatakan: “Innama buitstu liutammima makariml akhlak”.[21]
Senafas dengan hal ini, Begawan pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantoro juga menyatakan moralitas pendidikan adalah: “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso lan tut wuri handayani”. Ungkapan ini memiliki keselarasan dengan sabda Nabi Muhammad Saw tersebut. Pernyataan ini mengandung makna:
- Manusia harus menjadi teladan ketika berada di depan atau menjadi pemimpin didalam level serendah apa pun;
- Jika di tengah maka manusia harus dapat membangkitkan semangat untuk berkarya; dan
- Jika berada di belakang maka harus bisa menajadi pamong.
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah pendidikan yang berbasis pada kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab dan kepercayaan. Jujur dalam segala hal yang dilakukan, ikhlas dalam melakukan segala sesuatu, tanggung jawab ketika diberi amanah dan terpercaya ketika diserahi tanggung jawab. Dan itulah sebenarnya jiwa dan karakter bangsa Indonesia, terlebih Indonesia adalah negara yang beragama dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Tuhanan. Pendidikan semacam ini akan terlaksana jika semua komponen bangsa ini mendukung terhadapnya. Artinya dibutuhkan lingkungan, pelaku dan juga kebijakan yang memihak kepadanya.
Setelah seluruh komponen berjalan seiring, kemudian dibutuhkan 3 (tiga) langkah utama untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan karakter nasional bangsa ada beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat, yaitu:[22]
Pertama, penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas; yakni Lemaga pendidikan yang mempunyai orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral, mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek kemanusiaannya. Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian, akhlak, tingkah laku, pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi dan pengetahuan semata (aspek kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan psikomotorik.
Kedua, menyiapkan tenaga pendidik yang berkualitas; terutama kepala-kepala sekolah yang handal untuk merealisasikan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat idealisme tinggi, berdedikasi dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai kecakapan menejerial dan mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya. Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan memperbaharui pengetahuan (refresh and up to date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful).
Ketiga, penciptaan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggara pendidikan. Diperlakukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, peran serta masyarakat, lembaga-lembaga masyarakat (LSM) sebagai pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses pembelajaran pun akan ikut terganggu.
Sifat Pendidikan Karakter adalah multidimensi dan multidisiplin, sehingga diperlukan pendekatan yang komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu, dan tidak sektoral-parsial. Pendidikan Karakter mengasumsikan keterkaitan erat antara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya dan estetika.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.
Atas dasar itulah, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah suatu bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
Lebih jauh, pembentukan karakter juga harus didukung oleh suasana lingkungan yang kondusif di luar sekolah, baik di lingkungan keluarga, teman sepermainan, juga masyarakat. Sinergitas peran inilah yang akan memperkokoh pilar pendidikan sebagai garda terdepan dalam pembentukan karakter bangsa.
Pembangunan karakter dan jati diri bangsa merupakan cita-cita luhur yang harus diwujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang terarah dan berkelanjutan. Penanaman nilai-nilai akhlak, moral dan budi pekerti seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional harus menjadi dasar pijakan utama dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi system pendidikan nasional.
- NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG HARUS DITANAMKAN
Nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan guna membentuk dan memperkokoh karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini.
- Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, keidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan juga harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama
- Pancasila: Negara Kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni. Dalam hal ini, pendidikan harus dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
- Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan bangsa.
- Tujuan Pendidikan Nasional: sebagai rumusan kualitas pendidikan yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan di lapangan.
- PENUTUP
Langkah strategis membangun karakter kebangsaan adalah melalui sektor pendidikan. Hanya negara-negara yang memiliki karakter kebangsaan yang kuatlah yang siap bersaing ditengah globalisasi. Pendidikan nasional yang mengkolaborasikan sistem pendidikan formal modern dengan sistem pendidikan Agama dapat menjadi salah satu khazanah kekayaan dan bisa menjadikan dunia pendidikan Indonesia sebagai garda terdepan bagi penguatan karakter kebangsaan berbasis falsafah Pancasila.
Harus disadari bahwa salah satu keunikan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia adalah warisan multietnik dan multikultur. Keberagaman etnik yang hingga kini mencapai lebih dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa merupakan kekayaan bangsa yang mesti dipelihara dan dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai kemajemukan sehingga masing-masing etnik bukan berdiri sebagai etnis yang tertutup dan independen melainkan saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung, serta saling mempengaruhi satu sama lain.
Prinsip “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya dapat dijadikan kunci pembuka interaksi sosial sehingga terbangun suatu pemahaman lintas budaya dan rasa percaya pada setiap yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial bagi terbentuknya suatu hubungan antar-etnik dan antar-budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Dengan demikian, hidup dalam keberagaman dapat dipandang sebagai suatu kekuatan dahsyat dalam membangun nasionalisme struktural menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat.
Demikianlah sumbangan pemikiran yang dapat kami berikan, untuk ikut membangun kejayaan bangsa dan negara yang kita cintai ini. Semoga ‘inayah dan taufiq Allah senantiasa menyertai kita; amin.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Pendidikan merupakan proses pengembangan dan latihan yang mencakup aspek pengetahuan (knowledge) keterampilan (skill) dan kepribadian (charakter) terutama yang dilakukan dalam suatu bentuk formula (per sekolahan) kegiatan Pendidikan mencakup proses dalam menghasilkan (production) dan transfer (ditribution) ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh individu atau organisasi belajar (learning organisasi);
- Karakter bangsa adalah:
Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
- Karakter bangsa dan norma-norma dasar pendidikan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar yang berlaku sekarang ini, mewajibkan pada pemerintah:
- Mendasarkan setiap usaha pendidikan dan pengembangan kebudayaan pada Pancasila;
- Setiap usaha pendidikan harus mampu (1) melindungi segenap tumpah darah Indonesia, (2) mencerdaska kehidupan bangsa, (3) memajukan kesejahteraan umum, (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia.
- Karakter bangsa Indonesia:
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, patuh kepada hukum, perundang-undangan dan peraturan yang berlaku;
- Bangga sebagai warga negara Indonesia serta mencintai tanah airnya;
- Manusia Indonesia memiliki jiwa kebersamaan gotong royong, toleransi serta anti dalam segala bentuk kekerasan;
- Berbadab sehat, bersih, jujur, tertib, cermat, rajin, tepat waktu dan berdisiplin tinggi;
- Bangsa Indonesia adalah manusia yang memiliki kemauan belajar untuk masa depan, penuh inisiatif, kreatif dan inovatif
- Pendidikan Karakter budaya bangsa:
- Menyiapkan karakter lembaga pendidikan berkualitas yang berorientasi karakter building;
- Menyiapkan tenaga pendidik yang berkualitas untuk merealisasikan tujuan yang ditargetkan;
- Penciptaan lingkungan dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan.
- Pendidikan karakter berbasis falsafah bangsa:
- Pendidikan karakter adalah multi dimensi dan multi disiplin sehingga diperlukan pendekatan yanga komprehensif, utuh, interkonektif antar berbagai disiplin ilmu dan tidak sektor parsial karena pada literatur berkaitan era tantara dimensi moral, sosial, ekonomi, politik, hukum, agama, budaya dan estetika;
- Pendidikan budaya dan karakter bangsa dapat dimaknai sebagai pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter pada peserta didik sehingga memiliki nilai dan karakter dirinya sebagai anggota masyarakat, warga negara yang religius, nasionalisme, produktif dan kreatif.
- Nilai-nilai Pendidikan yang harus ditanamkan: (1) Agama, (2) Pancasila, (3) Budaya, (4) Tujuan Pendidikan Nasional.
DAFTAR BACAAN
Ahmad Sabri. 2007. Strategi Belajar Mengajar Mikro Teaching, Ciputat : Quantum
Aan Hasanah, 2013. Pendidikan Karakter Berperspektif Islam, Insan Komunika, Bandung Cet. II.
Haikar Permatadaya. 2001. Manajemen Modern Pendidikan Indonesia. Palangkaraya: Yayasan Kebangsaan Indonesia.
Harmanto Edy Djatmiko. 2006. Revolusi Karakter Bangsa Menurut Pemikiran M. Soeparno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hasan Asari. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga- lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan
Hasan Langgulung. 2000. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: AlHusna Zikra.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian
dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional.
Mochtar Buchori. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Muhaimin. 2006. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia
Pendidikan. Jakarta: Penabur Ilmu.
. 2006. Perundang-undangan Pendidikan.
Shalahuddin Sanusi. 1987. Integrasi Ummat Islam. Bandung: Iqamatuddin.
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
- Asdi Maha Satya.
Syafruddin Amir. 2008. 10 Pokok-pokok Pemikiran tentang Pendidikan. Bandung: Swara Media.
———————, Pancasila As Integration Philosopy of Education And National
Character, International Journal of Scientific & Technologi Research,
Ferace, 2013
Tim Redaksi. 2009. Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Bandung: Nuansa Aulia.
[1] Syafruddin Amir, 10 Pokok-pokok Pemikiran tentang Pendidikan, Swara Media, Bandung, 2008. Hlm. 27
[2] Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya (Edisi baru), Penabur Ilmu, Jakarta, 2003, hlm. 4
[3] Ibid.hlm. 24
[4] Ibid. hlm. 25
[5] Ibid. hlm. 28-29
[6] Tim Redaksi, Himpunan Perundang-undangan Republik Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2009. Hlm. 75
[7] Ibid. hlm. 78
[8] Haikar Pematadaya, Manajemen Modern Pendidikan Indonesia, Yayasan Kebangsaan Indonesia, Palangkaraya, 2001, hlm. 24
[9] Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Kanisius, Yogyakarta, 2001, 8
[10]Ibid. hlm. 63
[11] Ibid. hlm. 64
[12] Ahmad Sabri, Strategi Pendidikan, Quantum teaching, 2007, hlm. 57
[13] Sunarto dan Ny. B, Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, PT. Asdi Maha Satya, Jakarta, 2002, hlm. 77
[14] Shalahudin Sanusi, Integrasi Ummat Islam, Iqamatuddin Bandung, Bandung, 1987, hlm. 148
[15] Aan Hasanah, Pendidikan Karakter Berprespektif Islam, Penerbit Insan Komunika, Bandung 2013, Cet. II, hlm. 242
[16] Anonymous, Perundang-undangan Pendidikan, Bandung, 2006, hlm. 66-67
[17] Harmanto Edy Djatmiko, Revolusi Karakter Bangsa Menurut Pemikiran M. Soeparno, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006, Hlm. 90
[18] Ibid. hlm. 92
[19] Aan. Locit, hlm. 245
[20] Syafruddin, Amir., Pancasila As Integration Philosopy of Education And National Caharacter, International Journal of Scientific & Technologi Research, Perancis, 2013.
[21] Asari, Hasan., Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, Mizan, Bandung, 1994. Hlm. 14
[22] Www.wikipedia.org.com. Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Peningkatan Kualitas Bahasa dan Sastra, 2009.